His Answer

*lanjutan Her Answer

karya : imutt


Aku Cassey Sletr. Aku gadis yang hanya bisa menundukkan kepalaku. Aku tidak akan bisa mengangkat kepalaku kembali setelah semua itu terjadi. Setelah semua kejadian yang menyeret aku dan Joan Azhars ke dalam masalah yang rumit.

Meski aku telah meninggalkan masa lalu itu dua tahun lamanya, namun tak sekalipun kenangan pahit tentangnya menghilang. Sekarang, aku berjalan menuju kelasku yang baru. Selama dua tahun itu, aku tak pernah mendapat kesempatan lagi sekelas dengan pemuda itu. Pemuda yang meluluh-lantakkan aku karena harapanku yang memalukan terhadapnya.




Beberapa orang memandangku dengan pandangan mereka yang biasa. Sejak aku mengungkapkan semua keluhanku pada Joan, aku mulai disegani di sekolah ini. Yang mulanya hanyalah pelengkap bagian kelas, kini aku adalah gadis yang cukup dikenal. Entah mengapa, justru itu semua membuat banyak pemuda mendekatiku. Aku tidak mengerti, jujur saja. Aku yang garang saat itu, malah dinilai terhormat sebagai wanita, anggun, dan tinggi harga dirinya. Aku tidak tahu mereka menilaiku dari sisi yang mana. Tetapi—

Adrel, Luna, Sisca, dan Allena—keempat sahabatku—datang dan berjalan di sisi kanan dan kiriku. Aku yang semula menunduk karena tatapan mereka semua, kini berjalan tegap. Seperti baru mendapatkan asupan energi baru, aku merasa diriku terlahir beribu kali lebih baik. Dan aku percaya diri di dekat mereka semua.

Aku masuk ke dalam kelas bersama Allena dan Adrel. Aku tidak sekelas lagi dengan Luna dan Sisca. Dan ketika aku masuk, Ryo Meillesde, menghampiriku.

“Aku pinjam teman kalian,” katanya kepada Allena dan Adrel. Aku melihat Adrel mengangkat bahu, tak peduli. Sedangkan Allena menatapku, meminta pendapatku apakah dia boleh mengizinkan Ryo berbicara denganku.

“Tidak boleh, tentu saja.”

Seperti biasa, aku tahu siapa yang berbicara. Bukan Adrel ataupun Allena. Melainkan Hary. Hary Domson. Tentu saja kalian mengenalnya.

Aku melihat Ryo tertawa. Aku—tidak menyukai Ryo. Ryo adalah pemuda yang seenaknya. Tapi aku juga tidak suka cara Hary. Hary memaksaku, memintaku yakin bahwa Joan sungguh-sungguh padaku. Hary masih memaksaku untuk mengakui bahwa gadis yang bertahta di hati Joan masihlah aku.

“Kenapa kau tidak mencari gadis lain saja untuk kau buntuti?” kata Ryo. Dia memasang tampang yang sangat menyebalkan. Bahkan aku tidak merasa bangga disukai pria sepertinya. Pria kaya yang katanya bisa melakukan apa saja untuk gadis yang disukainya. Aku tidak peduli. Meskipun dia melemparkan Joan untuk berlutut di kakiku—karena aku memang masih punya perasaan.

“Membuatku gerah saja,” kataku cuek dan pergi lagi keluar kelas. Adrel dan Allena tertawa, tetapi mereka tidak mengikutiku. Aku sudah memberi mereka pengarahan untuk tidak membentuk komunitas setiap saat. Bisa-bisa nanti persahabatanku dengan mereka dianggap sebagai geng kecil yang merusak.

Aku berjalan pergi. Angin yang menerpa pelan sekujur tubuhku, mengingatkan aku pada tiap memori kecil yang pernah terjadi. Aku memandang kelasku yang dulu. Dulu sekali—ketika aku masih kelas satu SMA.

“Maaf kalau ini menyinggung.” Aku teringat pada suara itu. Suara perempuan di acara kelas satu SMA-ku. “Karena kau memilih jujur, aku bertanya padamu, Cassey, soal gossip antara kau dengan—ya, pemuda kelas ini.” Aku masih ingat dengan jelas. Joan mundur beberapa langkah dalam lingkaran kelas yang besar saat temanku itu bertanya padaku. Joan menunduk. Menggenggam tiap jemari kedua tangannya. “Apa kau tidak merasa tindakanmu keterlaluan padanya? Atau apakah mungkin untuk mengganti arah jawabanmu kala itu—aku yakin dia memberimu kesempatan selama kau mau.”

Aku tersenyum. Senyumku saat ini, mungkin sama dengan senyumku waktu itu. Aku masih ingat dengan jawabanku yang mengatakan, “Kadang aku merasa, jujur saja. Tapi untuk apa mengungkitnya? Bukankah dia belum pernah begitu penting dalam hidupku? Jika memutuskan untuk melupakan, ya aku lupakan saja. Dan apakah aku akan mengganti arah jawabanku? Semuanya mungkin, meski nyaris mustahil.”

Beberapa saat setelahnya, aku kembali merenung memandang lapangan dari jarak pandang lantai dua tempatku berada.

“Untukmu, Joan, apakah kau merasa malu pada kesalahan fatalmu? Pada kesalahan yang mengakibatkan dua gadis sekaligus?”

Aku memejamkan mataku di waktu yang nyata. Aku berusaha menyamarkan suaranya dalam ingatanku, tapi mungkin tidak bisa.

“Malu tidaklah seberapa.”

Semuanya diam. Aku ingat. Jawabannya sangat singkat. Tapi matanya—aku tidak bisa melupakannya.

Aku berjalan kembali. Untuk apa susah-susah memikirkannya?! Dua tahun adalah waktu yang cukup lama untuk membuang diriku jauh-jauh dari masa lalunya. Hary hanya menghabiskan waktunya. Aku dan Joan—sudah tinggal kenangan. Kenangan setipis debu—bahkan saat kita masih duduk di kelas satu SMA. Apalagi sekarang?! Apalagi sekarang—saat aku, Cassey Sletr, duduk di kelas tiga SMA?!

Aku berbalik. Bel masuk hampir berdering, aku yakin. Namun langkahku terhenti. Aku yakin, seluruh langkah orang di sekitarku—juga terhenti.

Joan Azhars masih sama seperti dua tahun yang lalu. Tinggi kurus dengan wajah agak kekanak-kanakannya yang lucu. Yang berbeda darinya hanyalah dirinya seperti mati. Matanya—langkahnya—mati.

Aku ini kenapa?! Aku tidak peduli padanya. Anehnya, aku tetap di sana. Diam. Sampai Joan sendiri yang mendahuluiku.

Aku hanya bisa menghembuskan nafas melihatnya. Memang hanya masa lalu, gumamku dala hati. Apa susahnya bagi dia untuk melewatiku yang bagaikan angin yang hanya memiliki rasa—tanpa meninggalkan pemandangan berarti?

“Hai, Cassey.”

Aku berjalan menjauhinya. Sapaan itu tak ada artinya bila mengingat dia mengucapkannya di belakangku. Seandainya ia mengucapkannya di depanku—apa bedanya?!

***

Pelajaran yang membosankan sedang berlangsung. Aku mencatat ringkasannya di buku tulisku. Aku benci pelajaran ini, pelajaran Bahasa. Gurunya tidak asik. Dan—selain karena hobi dan cita-citaku—aku tidak menyukai pelajaran ini lagi.

Pintu kelasku diketuk dari luar. Aku dan banyak teman sekelas langsung menyandarkan tubuh di kursi, yakin bahwa mereka bisa beristirahat mencatat selama beberapa menit. Ketika pintu dibuka dari luar, seperti biasa kelas langsung berisik. Suara kasak-kusuk terdengar di mana-mana.

Ada apa?” tanyaku pada Allena. Allena baru saja menyenggol lenganku dengan sikutnya. Lalu Allena mengisyaratkan lewat bahasa tubuhnya supaya aku menengok ke arah pintu masuk. Aku pun melihat ke sana dan menangkap seorang Joan di sana.

“Mulai berani dia,” kata Allena, pelan. “Baru pertama kali dia masuk kelas ini.” Dan Allena mengerlingku.

“Apa bedanya?” ujarku.

Allena mengangkat bahu. “Bukankah artinya dia sudah melupakannya?” ujar Allena. Aku berpikir dalam diam. Jika Joan mulai berani masuk ke dalam kelasku, mungkin Allena benar. Joan sudah benar-benar melupakan masalah yang telah lalu. Mungkin pemuda itu sudah benar-benar menghilangkan aku dari kehidupannya. Sekarang, Joan sudah bisa tenang. Dan sebentar lagi, aku yakin, Joan akan kembali seperti dulu. Bersemangat dan ceria.

Aku melanjutkan mencatat pelajaran di papan tulis. Tapi aku menyadari Allena masih memandangku.

Ada apa?” tanyaku lagi.

“Tidak,” katanya pelan. “Kau—biasa saja?”

Aku menatap Allena lekat-lekat. Baru aku sadari saat ini, Allena—dan mungkin, seluruh sahabatku, memikirkan masalah aku begitu lama. Aku yakin, mereka tidak selamanya percaya pada yang aku katakan tentang masalah Joan. Mereka, aku yakin, bersikap normal. Mungkin mereka agak sangsi jika aku bilang Joan tidaklah memberikan efek yang berarti padaku.

Nah, Allena benar. Meski aku sedikit puas telah memberikan tonjokan pada jiwa Joan, hatiku tetap tak tenang. Kebahagiaan itu mengganjal. Seperti belum benar-benar berakhir.

“Kau mau aku seperti apa?” tanyaku pada Allena.

“Jujur saja,” kata Allena. “Pemuda itu menerima begitu banyak tekanan dari kita.”

“Kita tak pernah berurusan lagi dengannya,” kataku, mengelak dari kenyataan yang Allena sodorkan kepadaku.

“Kita menghindarinya,” kata Allena, memperbaiki kata-kataku. “Aku—memang hanya bisa diam sebagai penonton kisah kalian—tapi ini rumit. Aku bingung aku lebih baik berada di mana.”

“Kau ingin mendukungnya?” tanyaku tanpa basa-basi. “Ingin menjadi kawanannya?”

“Bukan seperti itu,” kata Allena pelan. Allena terlihat agak merasa bersalah. Aku pun melunak. Lalu Allena berkata, “Kau menyembunyikan sesuatu yang terpenting.”

Aku menggeleng. “Aku adalah satu-satunya gadis yang bertahan lama di hatinya,” kataku, menjiplak ucapan Joan padaku. “Itu adalah monument terakhir antara aku dan dia. Dan dua tahun tidak bisa mengartikan memang akulah yang terlama.”

“Cassey.” Adrel mulai mengikuti obrolan kami. “Kau masih menyukainya?”

Aku tersenyum.

“Kau memang masih menyukainya, kan?” tanya Allena, menegaskan.

“Ya,” jawabku jujur. Itulah ucapan terjujur yang bisa ku berikan dua tahun belakangan ini. Jawaban paling jujur bahwa sebisa apapun aku mengelak, aku masih memikirkannya.

“Menurutku, kau tidak menganggap pacaran dengannya adalah hal yang terpenting?” ujar Adrel.

Aku mengangguk. “Perasaan suka ini—tidak sebanding dengan tingkat pacaran. Aku memiliki hal lain yang bisa aku banggakan dengan perasaan ini. Aku hanya—terluka olehnya.”

“Lalu sampai kapan?” tanya Allena.

“Sampai aku bisa menyelesaikannya,” jawabku penuh keyakinan. Aku membiarkan Allena dan Adrel memandangku dengan wajah bingung mereka.

***

Aku masuk ke dalam lift. Tanganku penuh dengan kertas hasil diskusi kelompok. Aku harus mengantarkannya ke lantai empat. Sebelum pintu lift tertutup, seseorang masuk ke dalamnya. Aku tidak tahu siapa yang masuk sampai pintu lift tertutup dan orang itu menekan tombol tujuannya.

Joan lagi.

Aku membisu di tempatku. Joan beralih memandangku, sama diamnya denganku.

Aku seperti mati rasa. Aku tidak merasa lift bergerak naik atau turun. Aku merasa seperti itu hanya karena ada dia! Ada Joan.

Tiba-tiba saja, lift turun dengan gerakan spontan. Aku terkejut dan terjatuh. Lampu di dalam lift mati. Dan aku tidak bisa melihat apa-apa di sana. Aku memejamkan mata. Tubuhku gemetaran. Ada bayangan masa kecilku sehingga aku takut dengan kegelapan.

“Cassey, kau baik-baik saja?” Joan bertanya. Suaranya terdengar panik. Aku hanya bisa berlutut di sana, ketakutan tanpa bisa membuka mata. Dan lagi—lift turun dengan gerakan kasar dan tiba-tiba. Aku tersudut di tempat sempit itu. Masih gemetaran.

Ada tangan yang memelukku. Hangat sekali. Tapi aku tidak bisa menatapnya karena takut. Aku hanya bisa diam dan diam.

“Kau baik-baik saja?” tanya Joan lagi. Ia memelukku. Terus memelukku, berharap aku bisa merasa lebih baik. “Aku cek dulu,” katanya, seakan memohon izinku untuk melepas pelukannya.

Aku tidak tahu Joan berbuat apa. Pastinya, dia mengecek lift itu, apakah benar-benar rusak atau hanya error sementara. Tapi sementara pun percuma. Aku mulai menangis.

Joan berlutut di dekatku. Ia menggenggam tanganku. “Jangan takut,” katanya pelan. Hangat sekali suaranya.

“Aku ingin keluar,” isakku pelan. Aku berusaha membuka mata. Lalu, samar-samar, aku melihat Joan mengangguk. Matanya, tidak mati seperti yang telah ku katakan berhari-hari yang lalu. Matanya tegas memandangku.

Ada aku di sini,” katanya lagi. “Berhentilah menangis.”

Aku menahan tangisku. Tidak karena ketakutan lagi aku menangis. Aku merasa bersalah. Joan—Joan masih memperlakukan aku dengan baik. Tidak peduli dengan apa yang pernah ku perbuat padanya.

“Maaf,” kataku pelan. Kepalaku berputar-putar. Pandanganku mulai kabur dan pendengaranku pun mulai berkurang.

“Bertahanlah!” katanya, memohon. “Dengar suaraku. Tetaplah terjaga.”

Aku berusaha menurutinya. Tapi air mataku terus terjatuh. Aku merasa sangat bersalah. Aku menyakiti hatinya hanya karena hatiku terluka oleh kekeliruannya. Oleh kekeliruan yang ku anggap besar tapi tidak ada artinya sekarang.

“Apa aku—masih yang terlama di hatimu?” tanyaku pelan. Joan menggenggam tanganku, semakin kuat.

“Tidak,” katanya tegas. “Kau bukan yang terlama. Tapi memang hanya kau yang akan ada selamanya.”

Aku menangis lagi.

“Maaf,” bisik Joan. “Aku tahu kau tak ingin mendengarnya. Maafkan aku.”

Aku menggeleng lemah. Aku teringat dengan pertanyaanku padanya. Dan aku—mengulang pertanyaanku padanya seperti waktu itu. “Apakah kamu masih mampu mempertanggung-jawabkannya—menghindari jilatan ludah sendiri pada kata ‘aku adalah yang terlama di hatimu’?”

Aku melihat Joan tersenyum. “Seperti yang semula kau dengar,” jawabnya.

Kepalaku semakin pusing. Air mata tidak memperbaiki semuanya—justru memperburuk semuanya. Aku tahu aku akan kehilangan kesadaran ketika aku mendengar Joan berkata, “Sial!” Lalu dia melepaskan genggaman tanganku dan berdiri. Samar-samar, aku melihatnya bersiap-siap memberikan tonjokan maut pada CCTV yang terpasang di lift macet itu.

Aku pun terpejam. Terpejam dan merasa seseorang yang aku butuhkan—sedang membawaku. Menyelamatkanku.

***

Aku tersadar. Aku melihat dengan samar-samar beberapa orang mengelilingiku. Aku berusaha bangun dari tidurku dan seseorang membantuku.

“Syukurlah.”

Mataku mulai bisa memandang dengan benar sekarang. Aku melihat wajah-wajah yang ramah di dalam ruang kesehatan. Aku pikir, mulanya, hanya ada sahabat-sahabatku yang datang menjenguk. Tapi tidak. Aku melihat Ryo, Hary, dan—Cynthia. Aku agak terkejut melihat Cynthia berada di ruangan yang sama denganku. Seperti halnya Joan, aku tidak pernah sekelas lagi dengan Cynthia. Namun Cynthia menebarkan senyumnya padaku.

“Berapa lama aku tak sadarkan diri?” tanyaku. Aku berharap sekali para sahabatkulah yang menjawabnya. Alasan utamanya adalah aku ingin menghindari percakapan lebih jauh dengan tiga orang lainnya.

“Kira-kira kau pingsan selama lima belas menit,” jawab Cynthia. Gadis itu masih memamerkan senyumnya padaku. Rasanya kegelisahanku ditangkap dengan sangat baik oleh Allena, Luna, Sisca, dan Adrel. Buktinya, Sisca langsung bergerak maju mendekatiku, berusaha berada paling dekat denganku.

“Kau mau Adrel mengantarmu pulang?” tanya Sisca.

“Tunggu,” potong Cynthia. “Aku ingin bicara dengan Cassey. Aku jamin hanya sebentar saja.”

Aku melempar pandangan penuh tanda tanya kepada semua orang di dalam sana kecuali Cynthia sendiri, Ryo, dan Hary. Lalu aku melihat Cynthia berwajah melas. Aku tak bisa menolaknya.

“Baiklah,” kataku.

Cynthia tersenyum. “Kalau begitu, aku mohon maaf, aku hanya ingin bicara berdua dengan Cassey.”

Ucapan Cynthia langsung disusul dengan gerak langkah tamu-tamu lain yang datang ke ruang kesehatan untuk keluar. Firasatku agak tak enak. Aku merasa Cynthia akan mengungkit soal kami. Soal aku, Cynthia, dan Joan.

“Kau tahu siapa yang membawamu ke sini?” tanya Cynthia. Aku menggeleng. Aku merasa dengan sangat yakin, Cynthia tidak mengharapkan aku untuk sekedar mengecek. Tapi dia sengaja akan memberitahuku.

“Joan Azhars,” katanya. “Agak mengejutkan, memang, kau terkurung bersamanya. Apalagi melihat dia keluar dari lift itu dengan tangan berdarah yang masih menahan dirimu untuk tidak terjatuh.”

“Tangan berdarah?” gumamku, bertanya-tanya. Adegan terakhir yang bisa ku ingat adalah Joan berkata ‘sial’ dengan penuh—mungkin campuran kesal dengan terkejut. Lalu—lalu aku teringat akan Joan yang berdiri dan berancang-ancang untuk menonjok sesuatu. Entah apa itu—yang jelas bukan orang, pastinya. Aku lupa.

“Aku hanya ingin bilang,” kata Cynthia, melanjutkan pembicaraan. “Joan tidak seburuk yang kau sangka. Aku, jujur saja, agak sedih mengetahui hal sebenarnya—hal dua tahun yang lalu itu. Bukan hanya untuk Joan dan kamu, tapi juga untuk aku.”

Aku memandang lurus Cynthia. Gadis itu tidak berusaha memperbaiki image-nya di hadapanku kala itu. Matanya serius. Begitu tegas.

“Aku menolak Joan,” kata Cynthia. “Bukan karena aku tidak menyukainya.”

Aku menghela nafas, tak tahu lagi harus berbuat apa. Cynthia pun diam. Mungkin ia menunggu sampai aku menanggapi ucapannya.

“Kau menyukainya?” tanyaku pelan.

“Ya,” jawab Cynthia. Aku tahu ia jujur. Matanya, ucapannya, mungkin semua yang ada pada diri Cynthia saat itu membuktikan kejujurannya. “Aku hanya ingin menjelaskan padamu. Mustahil bagiku masuk ke dalam hatinya dengan sebenarnya. Tapi kalau kamu—selamanya bisa.”

Aku masih diam. Bingung.

Cynthia berdiri. Aku rasa dia akan pamit untuk pergi.

“Kalau begitu, aku pergi duluan,” kata Cynthia, kembali tersenyum seperti sebelum kami memulai pembicaraan aneh itu. “Dan—soal tangan berdarah itu—maaf, aku tak bisa menjelaskannya.”

Dan Cynthia pergi. Sudah lama aku tidak merasakan yang seperti ini lagi. Seperti kembali dikejar waktu saat Joan menunggu jawabanku, aku termenung dalam banyak waktu.

Aku menyadari aku masih menyukai pemuda bernama Joan Azhars. Tapi akankah ada kesempatan untuk bisa kembali seperti dulu? Akankah ada jalannya? Aku tak mungkin pergi menemuinya tiba-tiba, lalu mengatakan jawaban yang selama ini ia tunggu. Tidak. Jawaban yang dulu ia tunggu. Karena dua tahun sudah menjadi tameng bagiku dan dirinya.

***

Aku ingat waktu sudah berganti sebanyak enam hari. Aku mengaduk minumanku di dalam kantin. Kali ini seorang diri. Tanpa Adrel atau Allena, tanpa Luna maupun Sisca. Tanpa Hary sekalipun yang sering mendapat tugas membuntutiku, mungkin. Atau tanpa Ryo si Manusia Seenaknya.

“Boleh aku duduk di sampingmu?”

Aku mengerling ke samping. Hanya sebagian kecil pandanganku untuk melihat siapa dia dan aku sudah tahu siapa. Joan Azhars.

“Silakan saja,” kataku pelan. Aku memandang pemandangan di sekitarku. Belasan orang atau mungkin lebih sedang menatap aku dan Joan. Pandangan mereka iba. Iba kepada Joan jikalau aku mengusirnya atau pergi seperti biasa. Aku pikir-pikir, mengapa aku seperti ibu tiri dan Joan anak tiriku?!

Joan sudah duduk di sampingku. Aku melihat dengan cepat, tak ingin ia tahu aku menatapnya, tangan kanannya diperban. Aku jadi ingat perkataan Cynthia soal tangannya yang berdarah. Tapi berdarah karena apa?

“Kenapa tanganmu diperban?” tanyaku dengan pose cuek.

“Ah, kau lupa, pasti,” kata Joan. “Atau mungkin memang tak tahu. Tapi ini bukan masalah. Baik-baik saja.”

Aku menatap Joan dengan seksama. Kalau saja tidak banyak orang yang berteriak ‘wow’ melihat aku memandang Joan, aku bisa tenang berbicara.

“Ini berkaitan denganku, kan?” kataku. “Aku ingin tahu kenapa tanganmu begitu.”

Joan menurunkan tangan kanannya dari meja. Aku tahu ia bermaksud menyembunyikannya, tak ingin aku mempedulikan tangannya.

“Aku menghancurkan CCTV di dalam lift.”

“Kenapa?” tanyaku. Aku mulai membayangkan hal yang aneh. Apa Joan ingin melakukan sesuatu padaku dan dia harus menghancurkan—tidak mungkin Cassey, kataku dalam hati. Lift sedang mati. Listrik mati, aku tahu. Tidak mungkin Joan mau mengurung diri bersamaku dalam waktu lama di sana. Joan tidak gila.

“Yah, CCTV itu menyala,” kata Joan pelan. Aku masih belum paham. “Sudahlah,” katanya pelan. “Lupakan itu.”

“Oke, lupakan,” kataku kepadanya. Aku berdiri dan meninggalkannya. Dia berkata lupakan, maka aku pergi. Aku juga harus melupakan bahwa aku punya masalah yang harus dibicarakan dengannya.

“Cassey!”

Hanya Adrel, di antara banyaknya sahabatku yang berkerumun, yang berlari menghampiriku. Wajah Allena, Luna, dan Sisca sangat tidak enah dipandang. Wajah mereka sayu.

“Aku ingin jujur padamu soal kecelakaan di lift,” kata Adrel.

“Katakan saja,” ucapku. Lorong di mana kami berkumpul sedang sepi. Tak akan ada yang mendengar.

“Kecelakaan lift itu adalah kesengajaaan,” kata Adrel.

“Apa?” tanyaku, tak percaya. “Ulangi!”

“Kesengajaan, Cassey!” kata Adrel lagi. “Ide dari mereka yang satu kelas dengan kita di kelas satu. Aku, tadinya, bersama yang lain tidak tahu soal itu. Sampai kami dengar berita Joan menonjok CCTV-nya.”

Aku ingin marah. Tapi aku belum mengerti sepenuhnya masalah itu. Aku tidak bisa marah untuk masalah yang rancu.

“Dengar,” kata Adrel. “Joan tidak tahu soal itu. Itu rencana dadakan.” Aku yakin Adrel buru-buru mengatakannya karena mungkin aku akan marah pada Joan yang nantinya, mungkin, ku kira menipuku. “Tanpa kalian berdua sadari, CCTV di lift—menyala. Menyiarkan langsung—dari lift—ke—”

“Oh, aku mengerti,” kataku masam.

“Bukan kami, Cassey!” kata Luna, satu setengah meter di belakang Adrel. “Mereka penasaran. Tapi soal itu sudah selesai. Joan memarahi mereka semua. Bahkan menghancurkan CCTV karena ia ingin melindungimu. Ia dijebak juga, dan ia—murka.”

“Tak pernah kami lihat Joan semarah itu,” kata Sisca.

Aku diam selama beberapa saat. Joan bukan hanya melindunginya di dalam lift. Bahkan Joan menjaga kehormatannya. Ia menghancurkan akses atau info yang bisa didapatkan oleh mereka-mereka di luar lift. Sementara ia ketakutan setengah mati di dalam lift, ada orang yang menonton ia dan Joan. Hanya karena penasaran apakah hubungan kami di kecelakaan bisa membuat kami dekat lagi.

“Aku akan pergi menemui Joan,” kataku.

“Untuk apa?” tanya Luna.

Aku hanya tersenyum. Aku melihat mulut mereka semua membentuk huruf ‘O’ dan aku pun pergi. Aku sadar hanya tinggal sepuluh menit kurang waktu istirahat ini. Aku harus segera menemui Joan secepatnya. Aku yakin, semakin cepat aku menemuinya, semakin cepat juga masalah ini selesai. Aku terus melangkah cepat, setengah berlari-setengah jalan.

Aku tidak menemukan Joan di kantin yang sama, tidak menemukannya di kelasnya, bahkan (aku agak malu mengakuinya) tidak menemukannya di lift kejadian beberapa hari yang lalu. Aku tidak menyerah. Aku melihat arlojiku. Hanya menunggu waktu sampai bel berdering. Mungkin tinggal satu atau dua menit lagi. Lalu aku teringat tempat yang sudah tak pernah ku kunjungi lagi. Taman sekolah.

Taman sekolah benar-benar sepi. Tidak sulit mencari Joan jika dia memang berada di sana. Dan aku tersenyum. Aku telah menemukannya.

“Joan Azhars!”

Joan menengok ke belakang, ke arahku. Aku berusaha untuk tersenyum. Sudah lama aku tidak tersenyum untuknya. Aku yakin, aku berhasil tersenyum dengan baik. Aku pun melangkah mendekatinya. Joan hanya diam di tempatnya. Ia menjadi tujuanku ketika aku melangkah maju.

Tepat di depannya, aku mengangkat tangannya yang diperban. “Aku minta maaf,” kataku pelan. “Minta maaf. Aku minta maaf. Aku—”

“Sudahlah,” kata Joan pelan. Ia tersenyum padaku. Senyumnya mengalihkan perhatianku. Kami berdua tidak peduli pada bel yang sudah berdering. “Tidak perlu sebanyak itu,” katanya.

“Maaf pertama adalah untuk penantianmu,” kataku menjelaskan kepadanya. “Maaf kedua adalah untuk penolakanku. Maaf ketiga adalah untuk jeda waktu dua tahun yang lalu sampai seminggu yang lalu. Dan—,” aku menambahkan. Aku menggenggam tangannya yang satu lagi. “Aku minta maaf lagi. Untuk tangan yang telah kau korbankan.”

Joan membalasku. Kami saling berpegangan tangan. Dan aku tahu ucapanku belum selesai sampai di sana.

“Dan terima kasih,” kataku. Joan menatap mataku, agak keheranan. “Terima kasih mau menolongku. Terima kasih karena kau mau menjaga kehormatanku. Terima kasih—karena kau sudah menjawab pertanyaanku dua tahun yang lalu.”

“Pertanyaan?” ujar Joan bingung. Aku tahu dia ingin bertanya lebih banyak. Ingin bertanya soal ‘menolongku dan menjaga kehormatanku.’ Aku yakin dia tidak suka mendengar kata terima kasih atas kebaikannya.

“Dulu,” kataku, mulai mengingatkannya. “Aku sangsi pada ucapanmu—dan bertanya, ‘apakah kau akan mempertanggung-jawabkannya dan tidak menjilat ludahmu sendiri?’ Dan kau menjawabnya. Enam hari yang lalu, kau menjawabnya. Dan hari ini—di sini—kau meyakinkanku.” Aku menundukkan kepalaku. “Bolehkan aku bilang bahwa kau masih membiarkan aku di dalam hatimu? Tidak lenyap oleh apapun dan tetap di sana—di tempat yang terlindung?”

Joan memelukku. “Ya.”

Suara Joan terdengar begitu lembut. Dan aku tidak akan menutup hati lagi padanya.

0 Responses

Lagu