Rain

karya: imutt


Celia Eildesvhora mengintip dari jendela kamarnya. Cuaca hari itu cerah. Ia pun tersenyum dalam diam, tidak ingin membayangkan apa yang akan muncul di dalam kepalanya jika cuaca hari itu suram dengan hujan yang deras. Celia lalu melirik jam dinding di kamarnya. Sudah saatnya ia berangkat ke sekolah. Dan ketika ia hendak membuka pintu kamarnya, masuklah Kate Giclar, teman masa kecilnya sekaligus sahabat terkarib yang pernah dimiliki Celia.


“Hai, Celia! Kau baik-baik saja hari ini?” sapa Kate ramah. Celia menjawab dengan anggukan kepalanya yang anggun. “Ini hari pertama kau kembali ke sekolah setelah kecelakaan itu. Spesial hari ini, aku akan mengantarkanmu sampai ke halte.”

Celia duduk di ranjangnya yang empuk. Dengan sedikit senyum di bibirnya, ia berkata. “Tidak perlu sampai begitu. Aku bukan anak kecil lagi, ingat?”

Kate tertawa. “Kita berdua sudah meninggalkan masa kecil lebih dari lima tahun yang lalu, Celia! Tapi tindakanku hari ini hanya sebagai antisipasi saja. Kau tidak keberatan, kan?”

Celia mengangkat bahunya seraya mengambil tas sekolahnya. Celia lalu berjalan menuju pintu keluar dan Kate mengikutinya di belakang.

“Aku masih penasaran tentang masalah kecelakaanmu, sebenarnya,” kata Kate. “Kau tidak mau memberitahuku penyebabnya. Lalu bersamaan dengan itu, kau putus dari cowok misteriusmu itu.”

Celia berpura-pura tidak mendengarnya. Wajahnya langsung berubah, meskipun Kate tidak melihatnya karena Celia membalikkan tubuhnya. Sambil terus berjalan keluar rumah, Kate tidak berhenti berbicara.

“Kalau kau menyembunyikan masalah kecelakaanmu itu, berarti itu bukan kecerobohanmu, ku rasa,” kata Kate menebak. “Apa ada yang sengaja melakukannya? Tetapi rasanya tidak mungkin. Lalu—mantan cowokmu itu sudah mendengar kabar tentangmu, kan? Dan bagaimana—”

Celia tersenyum penuh arti ke arah Kate. Kate langsung mengangkat bahu dan beralih memandang sebuah motor yang baru saja mengeluarkan bunyi klakson.

“Rasanya aku sia-sia ke sini,” kata Kate, agak cemberut.

“Aku sudah bilang tidak perlu sampai berbuat begini, kan?” ujar Celia. “Tetapi terima kasih atas perhatianmu. Itu sangat membuatku senang.”

“Yah, apa boleh buat,” kata Kate. Ia berjalan dengan riangnya menuju pemuda yang datang menjemput Celia. Tidak salah ia berbuat begitu. Pemuda itu sudah sangat dikenalnya.

“Kau ini merusak rencana orang saja, Bob!” kata Kate. “Kenapa tidak konfirmasi dulu kalau mau menjemput? Kau ini seperti pacar Celia saja dari dulu.”

Bob hanya memandangnya dengan senyum ramah. Kate mungkin menyadari bahwa ucapannya itu benar. Bob sudah melampaui teman dengan Celia. Meskipun Celia tidak menyadari atau pura-pura tidak peka terhadap itu, Bob tidak pernah mengelak dari kenyataan yang diucapkannya.

“Itu tidak benar,” kata Celia kepada Kate. “Sudahlah! Cepatlah kau berangkat, Kate! Sekolahmu itu lebih jauh dari sini. Dan benar-benar maaf untuk hari ini.”

Kate mengangguk dengan ringannya. “Bye, Celia! Bye, Bob!” katanya sambil melambaikan tangannya.

♥♥♥

“Kau sudah dengar berita baru hari ini? Rofflyn dan Tom kembali berpacaran!”

“Apa?!” ujar Kate kaget. “Aneh sekali,” katanya setengah berbisik. “Mereka sudah berpisah sekitar tiga minggu lamanya. Dan tidak ada tanda-tanda Tom masih memikirkannya.”

“Ehm, aku tahu maksudmu, Kate!” kata Ginny Louize, hati-hati. “Bersabarlah! Mungkin mereka berdua tidak akan bertahan lama lagi seperti sebelumnya.”

“Tidak, tidak,” bantah Kate. “Ini tidak ada hubungannya dengan perasaanku dengan—okelah, memang ada sedikit. Tapi—mengapa bisa begitu tiba-tiba?”

“Kau tahu Rofflyn hampir gila ditinggal Tom,” kata Enny MacHister. “Tentu saja setiap hari ia menyiapkan serangan untuk Tom. Tetapi klimaks-nya—kemarin—ketika hujan turun dengan sangat deras—Rofflyn berdiri di lapangan menunggu jawaban dari Tom. Mungkin mereka berpacaran lagi karena Tom tak tega Rofflyn mati.” Enny dan Ginny lalu tertawa bersama-sama.

Kate terdiam. Sejujurnya, ia tidak rela Tom kembali bersatu dengan Rofflyn. Ia boleh saja mengalah jika Tom merasa bahagia, tetapi mungkin Tom sama sekali tidak menyukai Rofflyn lagi. Kenapa, sih, Rofflyn harus sengotot itu jadian lagi dengan Tom?! pikirnya. Ia hanya bisa menggeram dalam hati dengan kenyataan pahit yang diterimanya.

“Tom datang,” bisik Enny. Enny dan Ginny pun langsung berakting seakan mereka tidak pernah mengucapkan sepatah kata sama sekali. Sedangkan Kate, ia hanya bisa melihat dari depan bagaimana Tom duduk di samping temannya, Andrew Stevecline, tanpa senyum di bibirnya. Melihat hal itu, semakin lengkaplah argumen bagi Kate yang mengatakan bahwa Tom tidak bahagia.

“Kate! Kate!” panggil Ginny pelan. “Hei, kau bengong, ya! Jangan bengong sambil melihat orang seseram itu.”

Kate tersadar dari lamunannya. Beruntungnya, Tom Gliddersmith tidak menyadari perhatian Kate. Jam sekolah pun mulai datang dan Kate hanya bisa diam dengan urusannya sendiri di dalam kepalanya.

Setiap detik terasa menyakitkan bagi Kate. Tom tidak boleh kembali dengan Rofflyn! Tidak boleh! katanya dalam hati. Hampir saja ia menangis hanya untuk cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Tom mungkin sama sekali tidak tahu Kate sudah mengaguminya sejak lama. Andaikan ada kesempatan bagi Kate untuk bisa dekat dengan Tom, mungkin kesempatan itu akan ia gunakan dengan sebaik-baiknya. Ia tidak akan kalah dengan Rofflyn atau berpuluh-puluh gadis di sekolahnya yang cinta mati pada Tom!

Sepulang sekolah, Kate berkunjung ke rumah Celia. Tidak ada lagi tempat curhat yang paling baik selain Celia bagi Kate.

“Kalau Rofflyn bisa diterima hanya karena menunggu di lapangan yang turun hujan dengan deras, aku bisa menunggunya saat badai berlangsung!” ucap Kate menggebu-gebu.

“Kalau seperti itu, sih, aku tidak akan mendukung kisah cintamu,” kata Celia seraya tersenyum. “Begini, jika kau percaya pemuda itu tidak menyukai Rofflyn, mereka akan segera berpisah. Dan saat itulah, kau datang membawa kebahagiaan bagi pemuda yang kau sukai itu. Tapi aku ingin sahabatku tidak mementingkan perasaannya sendiri. Kau mengerti maksudku, kan?”

Kate mengangguk. “Begitu leganya setelah menceritakan semuanya kepadamu, Celia! Terima kasih, ya!”

Celia mengangguk. “Kalau boleh tahu, siapa pemuda itu?”

“Namanya Tom,” kata Kate ringan. “Dia—ada apa?”

“Tidak,” kata Celia, menggelengkan kepalanya. “Begitu banyak Tom di dunia ini. Oh iya, bagaimana dia?”

“Dia itu, bisa disebut playboy, mungkin. Tapi itu bukan salah dia,” kata Kate, bersikap membela. “Puluhan gadis menyukainya. Setidaknya selama dia berpacaran, dia tak pernah mendua.”

“Mendua, ya?” kata Celia, menerawang selama beberapa saat. “Apa kau yakin kau benar-benar menyukai pria seperti itu?”

Yap!”

“Kalau begitu aku akan mendukungmu!” kata Celia sungguh-sungguh. “Asalkan kau dan dia benar-benar bahagia nantinya.”

“Aku pasti akan memikirkan perasaannya, Celia,” kata Kate berjanji. “Aku tidak akan egois dengan perasaanku sendiri. Jika dia nantinya bahagia denganku, aku akan mempertahankannya. Jika tidak—ya, melepaskannya.”

Celia memeluk Kate erat. “Coba kau tebak, berapa banyak gadis yang berkomitmen seperti kita? Sedikit, bukan? Kau adalah sahabat yang sangat sempurna bagiku.”

Kate menggeleng pelan. “Itu semua kau yang mengajarkannya. Celia, you are the best!”

Celia pun melepaskan pelukannya pada Kate. Gadis itu tersenyum. “Yah, sudah saatnya kau pulang, Kate,” kata Celia. “Bukan maksud mengusir, tapi kita sudah menghabiskan banyak waktu.”

Kate mengangguk patuh. “Aku akan selalu melaporkan perkembangan kisahku,” katanya seraya tersenyum. “Dan aku harap—setelah semua ini—mungkin sahabatku yang cantik, Celia Eildesvhora, mau berbagi kisahnya denganku.”

“Aku bukannya tidak percaya padamu,” kata Celia pelan, merasa tak enak. “Menurutku, itu sesuatu yang tidak berguna untukmu. Aku pun belum butuh nasehat apa-apa.”

“Tentu saja,” balas Kate cepat-cepat. “Mana mungkin Celia yang perfeksionis butuh nasehat dariku. Hahaha. Kalau begitu aku pulang dulu, ya, Celia darling! Bye.”

♥♥♥

Di pagi hari, Kate berjalan pelan di belakang Tom. Sesuai tebakannya, pemuda itu pergi menemui Rofflyn yang berbeda kelas dengan mereka berdua. Sebenarnya Kate merasa jengkel. Tom tidak biasanya menghampiri pacarnya sendiri.

“Aku ingin bicara denganmu,” kata Tom kepada Rofflyn yang berada di tengah-tengah kerumunan geng-nya. Rasanya Kate harus segera pergi. Dia pastinya tak akan sanggup mendengar bibir Tom mengeluarkan banyak rayuan untuk Rofflyn, namun—

“Jika dalam hitungan ketiga kau masih bersama teman-temanmu, anggap aku hanya angin lalu saja!” kata Tom geram.

Bukan hanya Kate yang kaget, Rofflyn dan teman-temannya pun begitu. Kate sampai terheran-heran. Apa Tom sekarang sangat mencintai Rofflyn hingga bertindak terlalu posesif? Ah, Kate tidak mau pikirannya benar. Tapi andaikan itu benar, mungkin Kate harus berusaha secepat mungkin melupakan Tom.

Rofflyn lalu langsung menghampiri Tom, tapi itu tidak berlaku lagi. Ternyata Tom sudah sangat marah. Ini membuat Kate merasa agak sebal padanya. Namun apa mau dikata, Kate harus segera pergi meninggalkan kedua orang itu. Kate pun berjalan sangat pelan menuju kelasnya.

“Kita putus.”

Kate berbalik. Ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Tom?! Tom berkata ‘putus’ lagi kepada Rofflyn?! Hore, ia berteriak. Tapi, tidak, tidak, katanya dalam hati. Jika ternyata Tom adalah pemuda yang seenaknya, mungkin Kate harus segera melupakannya. Kate bukan gadis bodoh yang hanya suka dengan tampang Tom. Ia harus menyukai pemuda yang pantas. Pemuda yang tidak seenaknya.

“Kenapa?” tanya Rofflyn tak percaya. Mungkin ia ingin menyembunyikan wajahnya di lubang semut jika bisa. Ia sangat malu. Malu sekali. “Kau bercanda, kan?”

“Tidak,” kata Tom tegas. “Aku tidak suka dengan apa yang kau katakan pada Miller. Omong kosong yang sudah kau katakan itu—memuakkan!”

“Omongan yang mana?” tanya Rofflyn. Di sini, Kate tidak mengerti arti raut wajah Rofflyn. Apakah ia asli tidak tahu—atau pura-pura tidak tahu?

“Aku tidak suka kau mengungkit alasanku berpisah dengan pacar pertamaku dan membandingkannya dengan dirimu yang—perfect,” kata Tom dengan nada menyindir. “Hanya itu yang ingin ku sampaikan. Jangan pernah datang lagi menemuiku dan jangan berdiri seperti orang bodoh lagi saat hujan turun!” Tom pun pergi meninggalkan Rofflyn.

Kate masih ada di sana dengan nafas terengah-engah. Apa yang sebenarnya ia rasakan setelah itu semua?

Seantero sekolah sudah tahu tentang pupusnya hubungan Tom dan Rofflyn dalam waktu sangat singkat. Kate terkejut melihat begitu banyak gadis lain yang langsung menggencarkan serangannya. Sedangkan dia?! Dia hanya bisa curhat pada Celia tanpa bisa melakukan sesuatu yang berarti.

“Kau tahu bahwa kau menghalangi jalanku, Kate!” kata Tom. Kate menoleh. Ia lupa bahwa ia sedang melamun di ambang pintu kelasnya saat istirahat hari itu. Ia pun segera menggeser badannya supaya Tom dapat masuk. “Kau kenapa?” tanya Tom.

“Er, tidak apa-apa,” kata Kate pelan. Dan dengan cueknya, Tom melanjutkan perjalanannya menuju tempat duduknya. “Tunggu, Tom!” kata Kate spontan. Apakah ini kesempatan yang tepat bagi Kate? Hanya ada Kate dan Tom di dalam kelas. Melihat Tom berhenti, Kate berusaha menyusun kalimat yang baik untuk ia lontarkan. Ia mencari pertanyaan yang begitu penting untuk diketahui jawabannya. “Pacar pertamamu itu—mengapa menjadi alasan hingga kau semarah tadi pagi?”

Tom melanjutkan perjalanannya. Ia duduk di kursinya dan membuka buku pelajarannya. Tentu saja ia tidak memberikan perhatian penuh pada tiap tulisan di buku itu. Mungkin topik yang diambil Kate adalah topik yang sangat terlarang.

“Kalau aku mengganggu, aku cabut pertanyaanku,” kata Kate pelan. Ia berbalik dan siap untuk pergi.

“Tanpa ada pacar pertamaku, aku tak mungkin menerima Rofflyn dan wanita lainnya,” jawab Tom pelan. Kate berhenti. “Hanya itu. Hanya itu sebagai penghormatanku padanya,” lanjut Tom. “Dan mengapa kau ingin tahu tentang itu?”

Kate terdiam selama beberapa detik. “Bukan karena perasaanku padamu hingga aku mengatakan ini. Tapi, bukankah masa lalu harus kau tinggalkan?”

Tom terkekeh di tempatnya. “Jadi, kau bermaksud mengatakan bahwa kau menyukaiku?”

Kate menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Ia mengangguk pelan. “Ya.”

“Aku sebenarnya tidak ingin melakukannya,” kata Tom sinis. Wajahnya kecut. “Tapi kau mendapatkan penolakan paling keras dariku. Aku tidak suka gadis manapun di sini. Termasuk Rofflyn sekalipun.”

“Dan mengapa kau menerima cintanya?” tanya Kate, berusaha tetap tegar.

“Itu bukan urusanmu!”

♥♥♥

“Jadi, kau takut ia adalah Tom-mu?” tanya Bob. Celia tersenyum miris.

Sore itu, mereka berdua berada di tengah-tengah taman kota. Seindah apapun pemandangan di taman itu, tidak bisa membuat Celia merasa senang.

“Itu hanya karena dia ada di sekolah yang sama dengan Kate,” jawab Celia. “Tapi Tom itu, tidak seistimewa yang Kate katakan padaku.”

“Dan apa yang akan kau lakukan jika dia benar-benar Tom-mu?” tanya Bob.

“Aku tidak memiliki Tom, Bob!” kata Celia pelan. “Apalah yang ia putuskan, asal Kate tidak menerima apa yang ia berikan padaku, aku tak mengapa, itu pun jika benar Tom yang sama.”

Bob tersenyum. “Aku punya sahabat di sana,” kata Bob pelan, memberitahu. “Namanya Andrew. Ia sahabat Tom. Aku tidak tahu Tom yang mana. Tapi, Andrew bilang, pemuda bernama Tom itu hanya akan menerima gadis yang menyatakan perasaannya saat hujan turun,” jelas Bob. “Kau sangat paham akan itu, Celia? Jika Rofflyn itu berhasil karena hujan, kau hanya bisa berharap Kate tidak melakukannya di saat yang sama. Karena jika benar, mungkin presentase Tom itu sama dengan Tom-mu yaitu lebih dari 75%. Tapi, coba kau pikir tentang hujan. Mengapa harus hujan? Kau sangat mengerti, kan?”

Celia membelakangi Bob. “Aku tidak tahu.”

“When it rains, he gave you an umbrella to protect you from the brunt of the fierce rain. When the sun shines bright, he gave you wings to soar brighten the morning.”

Celia mengernyitkan keningnya. “Jadi, benarkah Tom itu?”

Bob mengangkat bahu. “Kau gadis yang tegar. Meski kau bilang kau hanya menangisinya satu kali, tapi hatimu menangis lebih dari itu. Mungkin Kate harus tahu.”

“Tidak!” bantah Celia. “Masa lalu itu memang harus dibuang.”

♥♥♥

Celia mengurung dirinya di kamar. Ia telah menggunakan alasan sakit untuk tidak bertemu Kate tiga hari ini. Sekarang, ia hanya bisa merenungi semuanya sendirian. Tentang Tom. Tentang Kate. Semoga bukan Tom yang itu, kata Celia dalam hati.

Tiba-tiba saja ponselnya berdering. Ia melihat nama penelepon—Kate. Ia tidak bisa menghindar dari Kate selamanya. Ia pun mengangkat teleponnya. Mungkin dengan ia berbicara dengan Kate, ia bisa meyakini dirinya bahwa Tom yang disukai Kate bukanlah Tom yang menjadi masa lalunya.

“Celia,” kata Kate pelan. Celia mendengar suara Kate bergetar. Mungkinkah gadis itu menangis? “Hujan itu turun tadi sore.” Celia benar-benar menyadari bahwa Kate memang menangis. “Saat itu, dia—dia datang membawakan payungnya.” Celia terdiam di tempatnya. Ada firasat buruk yang mulai merangkak masuk ke dalam hatinya. “Dia—dia berjalan ke tengah lapangan di mana aku berdiri menunggunya, Celia!” Celia memejamkan matanya. Konsentrasinya mungkin akan buyar dalam waktu dekat. “Kau tahu, Celia? Ia mengusir setiap tetesan hujan yang menghujamku. Dia—Tom itu—” Celia mendengar Kate terisak. “Dia memelukku tiba-tiba,” tambah Kate. Tanpa sadar, Celia menjatuhkan air matanya. “Ia meminta maaf padaku. Ia menerima perasaanku. Aku bahagia.”

Bahagia. Yeah, bahagia. Suara Kate terdengar begitu jauh di telinga Celia. Suara isak tangis Kate. Kate yang ceria itu—menangis bahagia. Rasanya Tom yang Celia kenal—mungkin benar-benar Tom yang sama dengan yang ditaksir Kate. Walau secuil harapan masih dipegang teguh oleh Celia, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa di sana.

“Kau sahabat yang paling agung, Celia!” kata Kate pelan. “Akan ku perkenalkan kau dengan dia.”

“Tidak mau!” jawab Celia keras.

“Kenapa?” tanya Kate, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Celia? Halo, Celia?”

Celia mematikan teleponnya. Biarkan saja ia menjadi gadis pengecut, pikirnya. Ia tak akan sanggup membuktikan sendiri siapakah Tom yang sudah menjadi milik Kate itu.

Celia pun tidur di ranjangnya. Ia dekapkan bantal gulingnya lekat-lekat, seakan-akan hanya itulah yang bisa dipertahankannya.

♥♥♥

“Ini kejutan untuk sahabatku,” kata Kate pada Tom. “Kita akan ke sekolahnya. Aku tak bisa menunggu untuk memperkenalkanmu padanya.”

Tom hanya diam. Ia melihat arlojinya. “Aku tidak bisa lama-lama,” katanya. “Setelah memperkenalkan diri, aku akan langsung mengantarmu pulang.”

Kate diam untuk berpikir. Sebenarnya ia ingin meluangkan waktu Tom lebih banyak lagi bersama dirinya dan Celia. Tapi jika Tom benar-benar sibuk, ia tak bisa memaksa.

“Baiklah,” katanya memutuskan. Tom langsung menyalakan mesin motornya dan Kate naik di jok belakangnya.

Sekitar lima belas menit kemudian, Celia yang masih berada di sekolahnya, menerima kabar yang cukup mengejutkan. Dengan dirinya yang menjadi bintang sekolah. Dengan dirinya yang dikagumi banyak orang. Dengan alasan itulah, banyak pula orang yang membencinya.

“Sepasang kekasih itu mungkin akan membunuhmu,” kata Aretta. “Cowok siapa lagi yang kau rebut, Celia?”

Teman perempuan Celia, Dilla Horzan, berbisik ke arah Celia. “Lebih baik kau segera menemui mereka. Lupakan saja omongan kadal-kadal itu.”

Aretta mendelik pada Dilla. Dan Celia pergi dengan langkah pelan ke ruang tunggu sekolahnya. Di dalam perjalanan, ia terus bertanya-tanya. Siapakah yang datang menemuinya? Sepasang kekasihkah? Apa benar orang-orang yang menemuinya adalah sepasang kekasih?

“Celia!”

Celia mendengar suara yang sangat ia kenal. Kate ada di sana. Gadis itu bersama seorang pemuda yang berdiri memandang kaca di belakang Kate. Wajah pemuda itu tidak terlihat sama sekali. Mungkin pantulan wajahnya juga tidak terlihat karena kaca itu begitu buram.

“Kenapa kau datang dengan tiba-tiba?” tanya Celia.

“Ini kejutan,” kata Kate riang. “Aku tidak tahu mengapa semalam kau memutuskan teleponku, tapi aku benar-benar ingin memperkenalkanmu pada—Tom Gliddersmith!”

Bersamaan dengan itu, Tom berbalik. Dan—Celia pergi meninggalkan keduanya. Tiba-tiba, Tom terjatuh. Ia berlutut di tempatnya.

“Tidak!!” teriak Tom. Kate tidak bisa memutuskan dengan cepat siapa yang akan ia pilih. Apakah ia akan mengejar Celia atau menuntun Tom yang seperti orang mau mati. Namun pada akhirnya, ia memilih Tom yang berada dekat dengannya.

“Tom? Ada apa?” tanya pelan, begitu panik.

Tom meringis. Pemuda itu memegang kepalanya, seperti membuka lagi memori yang sangat menyakitkan. Kate tidak pernah tahu Tom memiliki penyakit besar yang berbahaya. Ia bingung di tempatnya.

“Tom?” ujar Kate pelan.

“Celia!” teriak Tom.

Tidak sempat bagi Kate untuk bertanya. Ia menangis. “Celia?” ujar Kate heran.

“Dengarkan aku!” teriak Tom, terisak di tempatnya. Beberapa orang mulai datang mengawasi mereka. Dan Kate hanya bisa menyandarkan Tom yang pingsan di dekatnya.

♥♥♥

“Trauma Tom sangat besar,” kata Andrew menjelaskan di sekolah pada hari berikutnya. “Trauma itu—tentang cinta pertamanya.”

“Dan cinta pertamanya adalah sahabatku sendiri?” tanya Kate dengan suara bergetar. Kate mengeluarkan ponselnya. Ia menekan nomor telepon Celia. Dalam waktu cukup singkat, Celia mengangkatnya.

Andrew mendengar tiap kata yang Kate lontarkan pada Celia.

“Maaf, Celia,” kata Kate. “Kau memang sahabatku. Tapi hatiku, jujur saja, merasa kecewa.” Andrew tak bisa mendengar balasan dari Celia. “Tidak perlu minta maaf. Aku hanya butuh—waktu untuk tidak bertemu denganmu dalam waktu yang lama.” Andrew agak terkejut mendengarnya. “Tidak, tidak, my best friend,” kata Kate, mengeluarkan isaknya. “Hanya waktu untuk menenangkan diri. Aku yang harusnya meminta maaf.” Dan telepon pun di matikan Kate.

“Mengapa kau bicara seperti itu pada sahabatmu sendiri?” tanya Andrew.

Kate tertawa paksa. “Ceritakan lagi tentang Tom.”

Andrew tak bisa berbuat apa-apa selain menceritakan hal yang ia ketahui pada Kate. “Celia itu—kecelakaan karena Tom di saat hujan deras. Tom yang menduakan Celia hanya karena salah paham, tidak sempat meminta maaf pada Celia yang menunggunya dengan basah kuyup. Jika setiap gadis tahu Tom trauma pada hujan, maka setiap gadis yang menyukainya—akan menyatakan perasaannya pada saat hujan turun.”

Kate terdiam. “Hujan?”

“Ya,” jawab Andrew pelan. Keduanya tidak menyadari ada beberapa gadis yang mencuri-dengar. “Saat hujan turun, wanita yang berada di hadapannya yang terhujam oleh hujan, bagi Tom adalah Celia. Pertama kali Rofflyn menyatakan cintanya, Rofflyn menari di lapangan yang basah oleh hujan dengan menebarkan senyum. Kau tahu, Kate? Tom langsung memeluknya. Menyatakan cinta padanya. Pernyataan cinta kedua Rofflyn pun tak berbeda. Saat hujan turun, Tom memeluknya lagi dan menerimanya. Dan kau pun—”

Kate menangis. “Aku dipeluknya,” katanya pelan. “Karena ia kira aku Celia?”

Andrew mengangguk tak enak. “Sudahlah, Kate!”

“Sudah?” ujar Kate kecewa. “Aku tidak peduli apa-apa. Aku ingin kau antar aku menemui Tom di rumahnya. Aku tidak mau tahu!” pintanya keras kepala. Bersama Andrew, Kate pun pergi menuju rumah Tom.

Mungkin Kate salah bertindak dengan pergi ke rumah Tom. Ia tidak tahu bagaimana harus memasang tampang menghadapi sahabatnya berada di tempat yang sama.

“Aku akan langsung pulang,” kata Celia. Kate tidak peduli. Biar saja Celia pulang sendiri. Yang ingin Kate temui adalah Tom, bukan Celia.

Saat Kate masuk ke dalam kamar Tom, pemuda yang sangat disukainya itu sedang menatap pemandangan di luar jendela kamarnya. Mukanya pucat. Tom benar-benar sedang sakit.

“Maafkan aku,” kata Tom pelan ketika ia sadar Kate berada di dalam kamarnya. “Maafkan aku.”

Kate duduk di tepi ranjang Tom. Ia mengusap wajah Tom dengan perasaan sedih. “Aku bisa memaafkanmu dengan mudah. Seperti yang aku katakan dulu, masa lalu harus dibuang, kan?”

Tom hanya diam.

“Jelaskan padaku mengapa kau seperti ini? Mengapa kau dan Celia bagaikan—aku tidak tahu bagaimana aku menyebut kalian berdua,” kata Kate.

“Aku dengar Celia mempermainkanku,” kata Tom pelan. “Dari Rofflyn. Gadis yang aku jadikan bahan untuk membuat Celia cemburu waktu itu.” Tom tidak mengubah pandangannya. Ia masih memandang lurus pemandangan di luar jendela kamarnya. “Rofflyn bilang Celia menyukai Bob. Dan ia bilang, aku hanya dijadikan tempat sebagai ajang taruhannya.” Tom menahan diri untuk tidak menangis. “Ketika hujan, aku melihat Celia yang basah oleh hujan sedang duduk di taman kota. Tidak peduli dia mungkin akan mati di sana, dia menungguku. Sedangkan aku membawa Rofflyn. Dan Celia pergi tanpa memberiku kesempatan meluruskan apa saja yang mungkin salah. Gadis itu—berlari tanpa arah—dan kecelakaan.”

Kate hanya bisa diam.

“Apa kau masih mau bersamaku yang selemah ini?” tanya Tom. “Apa kau masih mau bersamaku yang masih memikirkan dan mengharapkan Celia seutuhnya?”

“Aku masih mau bersamamu,” kata Kate.

“Tapi aku tidak bisa,” kata Tom. “Maafkan aku. Karena aku—kau sempat merasa suka pada orang gila.”

Kate berdiri. Ia mencoba untuk tersenyum. “Aku menyukaimu. Aku sangat menyukaimu,” kata Kate, masih terisak meski pelan. “Dan Celia—dia adalah orang yang sangat aku sukai. Aku juga sangat menyukainya. Dan mungkin—jika kedua orang yang sangat aku sukai saling menyukai—aku akan mencoba untuk menyukai hubungan kalian berdua,” tambah Kate, mengucurkan air mata. “Tolong jangan benci aku karena sempat berada di tengah-tengah kalian berdua.”

“Tidak akan pernah,” kata Tom yakin.

Beberapa hari setelahnya, tidak ada kejadian yang berubah drastis diantara ketiga orang tersebut. Satu-satunya hal yang berubah adalah Kate dan Tom mengakhiri hubungan mereka berdua. Ah, satu lagi hal yang berubah! Belasan atau bahkan puluhan gadis sudah mengetahui kelemahan Tom akan hujan!

Kate duduk di tempatnya yang biasa di dalam kelas. Ia memperhatikan pemandangan di luar jendela kelasnya yang muram. Beberapa gadis di belakangnya bersorak ketika setetes demi setetes air hujan turun membasahi sekolah mereka. Kate ingin acuh, tetapi tak bisa. Teman sebangkunya, Enny, menoleh ke arah Kate sebagai wujud kekhawatirannya.

“Tak ada yang spesial lagi, ku rasa, soal hujan itu,” kata Enny. Kate menatapnya tanpa semangat. Enny memerintahkan Kate untuk menengok ke arah Tom lewat bahasa tubuhnya. Kate pun menurutinya tanpa banyak bicara.

Tom—mengeluarkan headset dari dalam tasnya. Tanpa banyak basa-basi, pemuda itu mengenakan headsetnya dengan gamblang. Guru yang sedang memberikan pengarahan di depannya—seakan hanyalah satu murid tak berdaya baginya.

Bel berdering. Kate yang masih menatap Tom—pandangannya mengikuti pemuda itu yang langsung berlari keluar kelas tanpa menunggu guru tersebut keluar lebih dulu. Setelah guru tersebut keluar kelas dengan langkahnya yang pelan, beberapa gadis yang duduk di belakang Kate langsung berlari mengejar Tom.

“Ikuti dia!” kata Ginny.

Kate menggeleng. “Untuk apa?”

Ginny menghembuskan nafasnya dengan perasaan tak sabar. “Jika bukan untukmu, mungkin untuk sahabatmu.”

“Ayolah, Kate!” bujuk Enny.

Setelah membuang waktu selama sepersekian detik, akhirnya Kate mengangguk. Enny dan Ginny tersenyum memberikan Kate dukungan. Kate pun berlari mengejar Tom yang mungkin, sudah dilahap puluhan gadis.

Namun tidak. Kate benar-benar melihat dengan jelas. Tom berjalan acuh ketika satu per satu gadis mendekatinya untuk memberikan sesuatu padanya. Bahkan, dua gadis yang bermain hujan di lapangan sambil meneriakkan namanya pun, hanya dipandang sekilas oleh Tom. Sisanya, Tom berjalan menuju parkiran sekolah.

“Mengapa ini gagal?!” celetuk salah seorang gadis di sana.

Kate tidak berniat menggubris ucapan mereka. Ia sudah berbalik untuk mengambil ranselnya ketika Andrew menarik lengannya.

“Itu saran dari sahabatmu.”

“Celia?” ujar Kate.

Yap,” jawab Andrew. Ia melangkah menuntun Kate kembali ke kelasnya. Sugesti itu berjalan sukses karena Kate mengikutinya. “Sekarang—Tom hanya akan pergi menemui tempat satu-satunya ia bisa sembuh total dari traumanya. Pelindung terkuatnya selain headset mungil itu.”
“Headset?” ujar Kate bingung.

♥♥♥

Celia menunggu di bangku taman yang basah sepertinya. Ia tidak berdiri ketika orang yang memanggilnya datang terlambat tanpa payung. Sementara Celia masih duduk dengan acuh, Tom berjalan mendekatinya dengan tegas, menggenggam headset di tangan kanannya.

“Headset itu—berfungsi dengan baik,” kata Tom. Tiga langkah ia berjalan mendekati Celia, Tom kembali berbicara. “Mereka terkejut, kau tahu. Masalah yang mereka sadari, apakah aku sudah sembuh soal tindakan gila setiap hujan.”

Celia tidak bergeming. Ketika Tom sudah berada tepat di depannya, Celia mengangkat kepalanya untuk menatap mata tajam yang memandangnya.

“Satu-satunya tempat aku bisa sembuh total akan hujan, kau pasti tahu di mana letaknya?” ujar Tom. Ia mengangkat tangan Celia, memintanya berdiri. Namun Celia tak mau. Tom pun tersenyum miris sesaat sebelum berjalan mundur melewati gerbang taman. “Kau, Celia! Aku hanya akan sembuh bersamamu.”

Celia akhirnya berdiri. Sementara Tom berjalan mundur, Celia berjalan maju mendekati Tom yang tak kunjung berhenti.

“Lalu apa maumu?” tanya Celia.

Tom tersenyum tepat saat ia dan Celia berada di trotoar jalan raya. “Aku tidak bisa mengatakan maaf yang tak akan kau terima,” kata Tom pelan. “Sebagai ganti permintaan maaf, aku akan membalas semua yang pernah kau terima.”

Tom menuruni trotoar jalan yang licin, tidak peduli saat ribuan tetes hujan turun bersamaan membasahi kawasan itu. Ia tersenyum pada Celia dengan pose-nya bak pangeran yang dikawal dua malaikat di sampingnya. Celia menggelengkan kepalanya. Tom sudah berjalan ke tengah-tengah jalan raya, memblok sebuah mobil yang akan melewati jalan itu.

Celia berlari. Saat mobil itu berhenti tiga puluh senti di depan Tom, Celia menarik lengan Tom untuk pergi darisana. Jika saja hujan tak sederas itu, mungkin pengemudi mobil sudah turun dari mobil dan memarahi Tom habis-habisan. Setelah mobil itu berlalu, Tom membiarkan Celia mengamuk kepadanya.

“Jangan gila!” teriak Celia. “Apa yang kau pikirkan untuk menjemput maut di sana?!”

Tom menundukkan kepalanya. “Aku tidak bisa memintamu kembali ke sisiku lagi. Bahkan untuk mengucapkan kata maaf, aku tak bisa. Tolong jangan hentikan aku merasakan apa yang sempat kau rasakan. Tolong setelah semua ini terjadi, biarkan aku merasakan kesakitan yang sempat kau rasakan.” Tom melihat Celia menahan diri untuk menangis. “Bahkan ketika kau bilang kau hanya menangis satu kali untuk pemuda bodoh sepertiku, nyatanya hatimu selalu menangis.”

Celia tertawa kecut. “Tak ada artinya aku datang.” Ia berbalik. Tapi—

“Setelah ini, tolong terima permintaan maafku.”

Celia menoleh ke belakangnya. Tom tak lagi mencegat salah satu mobil yang lewat dari jarak yang jauh. Tapi kini—ia sendiri yang seakan berlari menghampiri hambatannya. Saat mobil berada satu meter darinya, Tom berlari menembusnya.

“TOM!!!”

Celia berlutut. Menangis memandangi Tom yang bercucuran darah.

♥♥♥

Kate memeluk Celia. Celia tak pernah mengeluarkan tangis seperti malam itu. Mungkin Tom memang menyisakan memori yang paling berat di dalam hatinya. Kate ikut terisak saat tubuh Celia gemetaran saking sedihnya.

“Ia masih hidup,” kata Kate pelan. “Percayalah. Dia masih hidup.”

Celia menangis. Gadis itu terus menangis.

“Pastikan nanti kau dan dia bahagia,” kata Kate pelan. “Jangan sampai salah mempergunakan kesempatan lagi, Celia! Kau dan Tom—” Kate berhenti karena tak mampu melanjutkan kalimatnya. “Kau dan Tom seperti tubuh dan roh yang tak bisa terpisahkan untuk tetap hidup.”

Kate memandangi pemandangan sekitarnya. Bob dan Andrew hanya bisa diam membisu di sana. Satu-satunya yang bernasib sama seperti Kate adalah Bob. Ia harus menenangkan Celia soal Tom. Dan persoalan tentang Tom tak luput dari dirinya. Kate memutuskan untuk pergi. Mungkin ia bisa sedikit menjernihkan pikirannya.

“Celia itu—gadis perfeksionis yang menutup diri, ya?”

Kate menengok ke sumber suara. Dan suara itu berasal dari bibir Bob.

“Ya,” kata Kate menjawab. “Dan Tom itu—pemuda keren yang tidak akan bisa melupakan cinta pertamanya?”

“Ya,” jawab Bob. Beberapa detik kemudian, keduanya tertawa.

“Suatu saat nanti,” kata Kate, penuh keyakinan. “Aku akan menemukan cinta lain yang tidak bertepuk sebelah tangan.”

“Suatu saat nanti,” kata Bob, sama yakinnya dengan Kate. “Aku akan datang ke pernikahan Celia dan Tom dengan gadis yang sangat aku cintai.”

Kate tertawa. “Jika kita berpikir untuk melihat masa depan,” kata Kate pelan. “Terlalu banyak sesuatu yang di luar dugaan. Bahkan untuk hari esok pun—”

“Tak ada yang tahu, benar?” ujar Bob. Kate mengangguk. Tiba-tiba, datang Andrew dengan terburu-buru.

“Tom sudah sadar!”

0 Responses

Lagu