Pelindung Lili


            Aku duduk di seberang tempat duduk Adrian. Sesekali, aku menyadari pandangan matanya mengarah kepadaku. Tapi apakah aku akan bersorak gembira karenanya? Adrian memang mampu membuat gadis-gadis tak waras dengan pandangannya. Tapi hal itu tidak berlaku padaku. Atau mungkin hal itu tidak pantas terjadi padaku.
***
            “Lili!” panggil Adrian.

 
            Aku berhenti di tempat untuk menunggu kedatangan Adrian. Bahkan ketika Adrian hanya datang menghampiriku untuk sekedar menyerahkan hasil ulanganku, banyak anak yang memandang kami dengan pandangan curiga.
            “Nilai yang bagus,” kata Adrian seraya tersenyum.
            Aku tidak membalas senyumnya. Ketika mengambil kertas ulanganku, aku mengerutkan kening setelah melihat nilaiku. “Pastinya nilaimu lebih besar, kan?” ujarku.
            Adrian mengangkat bahu. “Hanya beda lima belas angka, apa bedanya?”
            Aku menggerutu dengan pandangan lurus ke arah kertas ulangan. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk ulangan itu, tapi aku harus kecewa karena perbedaan nilaiku dan Adrian masih cukup jauh. Aku tidak bisa mengalahkannya.
            Adrian mengambil kertas ulanganku dan menyembunyikan nilaiku di bawah telapak tangannya. Ia tersenyum padaku dan berkata, “Yang harus kau lihat adalah pengorbanan dan pandangan orang terhadap kerja kerasmu, bukan hanya melihat nilai yang terpampang dengan tinta pena yang mudah luntur.”
            “Kembalikan, Adrian!” teriakku. Aku melihat Adrian berlari mundur dan tertawa lepas. Mungkin ia tidak menyadari, betapa banyak gadis-gadis yang terpikat olehnya dan membenci kehadiranku karenanya. Aku buru-buru mengejarnya dan langsung mengambil kertas ulanganku. “Aku tidak suka seperti ini!” kataku kesal.
            Adrian berhenti tertawa dan memandangku lekat-lekat. “Lili, kau banyak berubah,” katanya pelan.
            Aku memalingkan wajahku. Aku berjalan pelan di depannya dan berkata, “Aku tidak berubah. Aku hanya beradaptasi dengan lingkungan. Justru kaulah yang berubah, Adrian!”
            Adrian mendahuluiku dan menghadang jalan yang akan kulewati. “Lili,” katanya pelan dan dalam. “Aku tidak pernah berubah,” katanya sungguh-sungguh.
            Aku tertawa paksa. “Oh, tentu saja,” kataku masam. “Kau tidak akan pernah sadar kalau persahabatan kita telah berubah.”
***
            Aku menghela nafas saat melihat Adrian menungguku di gerbang sekolah. Ia dan motornya, menarik perhatian banyak orang.
            “Aku akan mengantarkanmu, Lili,” ucapnya dengan suara dan nada yang khas. Dia sudah mengulurkan helm untukku, tetapi aku tidak mengambilnya. “Ada apa?” tanyanya heran.
            “Aku akan pulang sendiri,” kataku.
            Adrian tertawa paksa. “Jangan konyol!” katanya. “Kau memaksaku mengakui bahwa akulah yang berubah. Padahal aku tidak berubah sama sekali.”
            Aku memandang ke kiri dan kananku. Banyak gadis memandangku dengan pandangan sebal. Aku merasa serba salah. Tentu saja, akulah yang sebenarnya berubah. Aku hanya berusaha beradaptasi dengan lingkungan di mana aku belajar di sana. Mereka menyukai Adrian dan terlalu posesif kepadanya. Akulah yang akan susah jika aku terlalu akrab dengannya. Tapi akulah yang salah bila persahabatanku dengan Adrian hancur.
            Adrian memegang lenganku dan menatap mataku. “Jika kau tidak naik, aku tidak akan pulang,” katanya.
            “Coba saja,” kataku, menantangnya. Aku berjalan pergi dan sesekali menengok ke belakang. Adrian memang tetap di sana, tidak berkutik sama sekali. Setelah memutuskan dengan cepat, akhirnya aku hanya bisa kembali dan mengikuti kemauannya.
            “Terima kasih, Lili!” katanya dengan nada yang khas.
            Aku memegang sisi motornya supaya tidak terjatuh, namun tangan Adrian bergerak menarik lenganku dan melingkarkannya ke pinggangnya. Adrian memang sudah memakai helm, tapi aku merasa bahwa Adrian tersenyum di balik helm-nya.
            Selama perjalanan, aku tidak bisa berhenti berpikir. Bagaimana nasibku setelah semua ini terjadi? Aku akan dikerjai habis-habisan melebihi gadis-gadis mengerjai Hani, orang yang sempat melakukan pendekatan dengan Adrian. Aku benar-benar tidak bisa tenang. Saat angin menerpa tubuhku, aku hanya menginginkan diriku terbang. Aku berada dalam posisi yang selalu salah. Aku akan disalahkan karena bersahabat dengan Adrian. Dan aku akan disalahkan jika persahabatanku hancur dengan Adrian.
            Aku memejamkan mataku. Aku tahu. Aku egois. Aku pengecut. Aku tidak berani mengambil langkah tegas dalam hidupku. Aku berlindung di balik tubuh tegap Adrian. Aku selalu berlindung di belakangnya.
            Aku merasa tubuh Adrian menegang. Aku melihat ke depan dan tak bisa berbuat apa-apa saat sebuah mobil bergerak kencang dan menabrak kami.
***
            Aku terbangun. Aku melihat pemandangan di sekitarku. Aroma yang kucium adalah aroma rumah sakit. Aku langsung bangkit dari tidurku dan merasa sakit di sekujur tubuhku tepat ketika ibuku berteriak memanggil namaku. Aku meringis di dalam pelukannya dan melihat ibuku menangis.
            “Kami bersyukur kau selamat,” kata ibuku.
            “Bagaimana dengan Adrian?” tanyaku cepat-cepat.
            “Sepertinya dia juga baik-baik saja,” jawab ayahku. Aku langsung menghembuskan nafas lega. “Tapi, Lili—kakimu sendiri—lumpuh untuk beberapa waktu,” tambahnya dengan nada janggal. Aku langsung terenyak ke kasur rumah sakit dan ibuku merangkulku serta berusaha menenangkanku.
            “Hanya sementara waktu, Lili!” kata ayahku lagi, tapi aku tidak mempercayainya.
            Aku melihat dengan jelas. Aku membaca—dan menerka. Apa yang ayahku ucapkan—alasan ibuku merangkulku begitu erat—aku akan lumpuh selamanya.
***
            Aku duduk di kursi roda. Aku tidak bisa pergi ke sekolah. Aku tidak mau pergi ke sana. Meskipun seharusnya aku bisa pergi setelah diopname selama dua minggu, aku terus menolak untuk pergi ke sekolah.

            Berbeda denganku, Adrian bisa pergi tanpa rasa malu. Ia sehat meski tubuhnya sedikit luka-luka. Membayangkan bagaimana jadinya jika aku pergi ke sekolah, mukaku merah padam. Mereka akan tertawa. Mereka akan puas. Aku tidak akan bisa berdiri dan berjalan di samping Adrian lagi. Tidak akan pernah bisa.
            Aku menitikkan air mata. Mungkin, ini adalah hukuman bagiku. Aku membiarkan Adrian terombang-ambing dalam persahabatannya denganku, sementara aku bersembunyi dari sekelompok hewan buas yang siap memangsaku. Aku memang terlalu pengecut. Jika setelah ini Adrian pergi meninggalkanku, bagiku itu hal yang wajar.
            “Lili,” panggil Adrian. Sepulang sekolah, secara rutin, Adrian membesukku. Ia duduk bersimpuh di depanku. “Maafkan aku. Ini semua karenaku. Andaikan aku tidak memaksamu waktu itu—”
            “Ini bukan salahmu,” kataku singkat.
            Adrian menggeleng. Ia mengangkat kedua tanganku dan menggenggamnya. “Kau harus pergi ke sekolah,” katanya. “Aku yang akan melindungimu.”
            Aku tidak akan terpengaruh ucapannya jika Adrian mengucapkannya sekali padaku. Namun Adrian terus memaksaku untuk pergi ke sekolah hingga aku memutuskan untuk menurutinya.
            Apapun yang terjadi di sekolah, tidak lebih baik dari bayanganku. Hanya sedikit sekali yang bersimpati padaku dan sisanya lebih senang menggosipkan aku di belakang. Bagiku, omongan di belakang bukanlah hal yang asing. Tapi sekarang, aku tidak punya hal yang lebih membanggakan dibandingkan sebelumnya. Jika aku tidak kuat dengan ucapan orang lain, aku biasanya berlari kencang meninggalkan mereka. Tapi sekarang tidak bisa lagi. Aku hanya akan meninggalkan ruangan dengan pengganti kakiku.
            “Lili,” panggil Adrian
            Aku selalu menahan keinginan untuk menangis ketika ia berada di dekatku dan memandang wajahku. Ia lalu berkata, “Apa aku melewatkan perlindungan untukmu?”
            Aku menggeleng. Aku telah merepotkan Adrian sepanjang waktu. Sebelum aku berangkat ke sekolah, aku merepotkan Adrian yang merasa bersalah dengan selalu datang membesukku sepulang sekolah. Sekarang, aku merepotkan Adrian yang menawarkan bantuan sebagai sukarelawanku.
            “Jika ada hal yang mengganjal hatimu, katakan saja!” kata Adrian.
            Aku menggeleng lagi. Meskipun taman sekolah begitu indah, kehidupan di depan mataku tidak lagi indah. Lalu, aku merasakan Adrian memegang pundakku dan berkata dengan raut merasa bersalah, “Aku merasa amat berdosa.”
            “Kau tidak perlu merasa sungkan!” kataku agak kencang. Aku menundukkan kepalaku. “Jika kau berada di sini karena kau merasa bersalah padaku, itu tidak perlu. Aku tidak menganggap bahwa ini semua salahmu. Kau bisa tenang dan pergi!”
            Aku menyembunyikan tangisanku. Aku sangat berharap, Adrian bisa pergi dan meninggalkanku sendiri, tapi nyatanya tidak. Dia mengangkat wajahku dengan kedua tangannya yang lembut, dan aku baru menyadari bahwa ia menangis sepertiku.
            “Aku tidak melakukan ini karena merasa bersalah,” kata Adrian pelan. “Aku memang salah, tapi aku melakukannya karena alasan yang lain. Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu dalam kondisi apapun.”
            Aku menggeleng. Aku berusaha menutup telingaku terhadap ucapannya. “Tidak perlu,” ungkapku pelan, berusaha tersenyum. Aku melihat matanya sendu. “Alasan sahabat pun, tidak bisa diartikan sebagai alasan yang logis untuk semua ini.” Aku berusaha pergi meninggalkannya, tapi Adrian memblokir kursi rodaku.
            “Lili!” panggilnya. “Aku selalu menantikan saat yang tepat untuk mengatakannya. Tetapi nampaknya, sekarang tidak akan pernah ada saat itu.”
            “Memang,” kataku, berusaha acuh. “Aku sudah siap jika kau ingin mengatakan untuk pergi selama-lamanya meninggalkanku.” Aku memandang Adrian dan menahan air mata yang akan jatuh.
            “Dengarkan aku!” paksanya. “Aku menyayangimu. Jauh sebelum ini. Jauh sebelum kecelakaan itu. Jauh sebelum kau sempat berpikir kemungkinan itu. Lima tahun yang lalu, Lili!”
            Aku menggeleng cepat dan berusaha tersenyum. “Cacatku tidak harus kauperhitungkan.”
            Adrian berdiri dan menjatuhkan air matanya. “Jika kamu menutup hatimu dengan keadaanmu, aku bisa pergi dan menyamakan keadaanku denganmu!”
            Aku menangis. Sementara itu, Adrian menggenggam kedua tanganku.
            “Aku akan melindungimu, Lili!” kata Adrian.
            Aku menangis di pundaknya. Dan aku sadar, orang yang berjalan menghampiriku dan menggandeng lenganku menuju tempat yang terang—adalah Adrian. Adrian—sahabat terbaikku—orang yang tidak akan kupikir menyimpan perasaan begitu dalam kepadaku. Adrian—menemukan sosokku di sepanjang haluan hidupku, tidak peduli saat aku berada di tempat yang terang ataupun gelap.
            Dan aku tidak akan peduli pada pendapat gadis-gadis penggemarnya. Adrian akan melindungiku di sepanjang hidupnya.
4 Responses
  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

  2. ex-orgil Says:

    kok vakumnya lama bener??? kapan ngeposting lagi? ditunggu loooo....


  3. ex-orgil Says:

    nah gini dong say. aku kan kangen baca ceritamu.. keep writing and posting gan!


  4. doain aja supaya dpt ide. ada dua cerpen lagi, tp nunggu pengumuman lomba dulu. kalo ga ada kabar, yah dimasukin ke blog deh. :)


Lagu