karya : imutt
Aku menggenggam sebuah buku. Buku tulis bersampul putih dengan pola polkadot hitam yang nampak cantik. Buku itu tanpa nama pemiliknya. Aku meneliti tulisannya. Tulisan kurus itu berdiri miring dengan pola yang sangat rapi. Pemiliknya pasti anak perempuan. Tapi aku tidak tahu siapa. Dan aku tidah tahu mengapa buku itu bisa terbawa olehku kemarin. Aku hendak mengembalikannya hari ini.
"Hei, kau tahu siapa pemilik buku ini?" tanyaku ketika aku melihat Hary Domson masuk ke dalam kelas. Ia meneliti sesaat lewat jarak satu meter, lalu menggeleng.
"Ehm.... mungkin itu milik Cynthia," katanya menambahkan. Ia mengerlingku penuh makna. Aku berpura-pura tidak mengerti maksudnya. Lalu aku melihat seorang perempuan masuk dan duduk jauh di depan mejaku.
Kelasku masih sepi pagi itu. Kebanyakan murid datang lebih siang. Mungkin—lima menit sebelum gerbang 'penjara' ditutup. Penjara? Yeah. Gerbang itu menutup habis seluruh jalur untuk masuk ke dalam kelas jika terlambat. Satu-satunya jalan adalah kau melewati ruang piket dan meminta izin mereka untuk bisa masuk ke dalam sekolah. Tapi itu hal yang agak mustahil. Guru piket hanya memberi izin masuk pada mereka yang hanya telat lima menit kurang. Hal itu berlaku untuk tiga kali kesalahan. Sisanya, harap kau angkat kaki.
"Bagaimana pendekatanmu dengan Cynthia, Joan?"
Aku hanya tersenyum. "Aku tak mengerti maksudmu," kataku, pura-pura tak paham. Menggelikan sekali jika kehidupanku sehari-hari selalu dikaitkan dengan perempuan yang ku taksir di tahun pertama SMA. Cynthia Mitterwift—dan Cassey Sletr.
Aku bukan seorang playboy, sebenarnya. Cassey Sletr adalah perempuan yang duduk jauh di depanku. Ia gadis yang cukup ramah, agak kalem, dan sangat tenang dengan kelompoknya. Ia gadis yang—entah mengapa, cukup menyita perhatianku selain Cynthia Mitterwift.
Berbeda dengan Cassey, Cynthia Mitterwift adalah perempuan yang agak bawel. Wajahnya cantik, dekat dengan semua teman laki-laki dan perempuan. Mungkin, ia gadis yang paling cantik di kelasku. Jika aku tidak bisa menyadari alasan utama aku menyukai Cassey, untuk masalah Cynthia aku sangat paham. Sulit dihindari bagi seorang pria untuk tidak melihat wanita dari penampilan luarnya. Meskipun begitu, Cassey adalah gadis yang manis. Dan aku mencoba memberi jarak pada diriku sendiri untuk tidak egois dalam menilai perasaan terhadap orang lain hanya dari penampilannya.
Jantungku tiba-tiba saja berdegup dengan agak kencang. Degupan itu begitu tiba-tiba bersamaan dengan Cynthia yang baru datang dan Cassey yang menatap ke belakang, ke tempat aku duduk dengan tenang. Buku itu terus aku genggam. Aku merasa aneh. Mungkin wajahku menggambarkan dengan gamblang bagaimana perasaanku sehingga banyak yang tahu aku menyukai siapa. Memalukan, sungguh.
"Kau memegang bukuku, Joan," kata Cassey.
"Oh, maaf," ucapku. Aku bergerak menghampirinya dan menyerahkan buku yang cantik itu padanya. Ugh! Lagi-lagi degup jantungku tak keruan. Semoga saja tidak terdengar siapapun. Mengapa selalu begini saat aku di dekat Cassey—atau saat Cynthia menatapku penuh tanya apa yang sedang aku lakukan dengan Cassey?!
Aku mengerling Cynthia sedikit. Ia langsung beralih memandang Eliza yang duduk di dekatnya. Tanpa ku sadari, Hary sudah bersiul-siul menggangguku.
"Ehm, Joan!" kata Hary meledekku. "Ehm, Cynthia!"
Aku berusaha menahan diri untuk tidak tersenyum dengan candaan Hary. Aku pun melirik Cynthia. Gadis itu tersenyum kecil menanggapi candaan Hary. Beda denganku, aku memutuskan untuk segera kembali ke tempat semula setelah mengatakan maaf kepada Cassey.
"Aku minta maaf bukumu terbawa olehku," kataku singkat. Cassey hanya mengangguk. Satu-satunya alasan mengapa aku kurang betah di samping Cassey adalah Cassey orang yang terlalu pendiam di dekatku. Ia berbicara seperlunya, menampilkan ekspresi seperlunya, dan entah mengapa agak takut menatapku. Aku bukan monster, jujur saja. Aku memang tidak tampan, tapi wajahku tidak bisa disebut buruk rupa. Meskipun begitu, aura Cassey membuat aku tertarik. Tertarik tanpa kejelasan.
Bel berdering. Aku terpaksa melupakan sejenak masalah percintaanku dengan gadis C. Tapi sebenarnya, tidak terlalu bisa. Pelajaran biologi dilakukan dengan diskusi kelompok. Aku sekelompok dengan kedua gadis C itu. Cynthia dan Cassey.
"Jodoh sekali Joan dengan Cynthia," ledek Hary. Suara itu menembus masuk dendang telingaku dengan sangat lancar.
Aku, entah mengapa, merasakan degup jantung yang tak keruan. Sulit dibedakan antara senang karena ledekan Hary atau apa. Aku melihat Cynthia tak menggubris ucapan Hary. Aku pun begitu. Namun sayangnya, anak-anak lain mulai tertular meledekku kecuali Cassey dan sahabt-sahabatnya.
Cassey hanya tersenyum simpul mendengar ledekan yang mengenaiku. Senyumnya singkat.
Aku pun berjalan menghampiri Hary cepat-cepat untuk menanggapi ocehannya. Aku menariknya ke sudut kelas. Beberapa anak mengira aku akan memarahinya karena suka meledekku. Tapi nyatanya, aku memasang pose siap berbisik, dan aku mulai mengatakannya. Mungkin ini harus aku lakukan. Mungkin perasaan ini sudah sangat jelas untuk siapa. Dan mungkin aku harus segera memulai menyelesaikannya.
***
Joan Azhars. Ya, itulah namaku. Aku berdiri kaku di depan Cynthia Mitterwift. Kata-kata itu—harus aku luncurkan! Kata-kata penting—saat itu juga!
"Bagaimana pendekatanmu dengan Cynthia, Joan?"
Aku hanya tersenyum. "Aku tak mengerti maksudmu," kataku, pura-pura tak paham. Menggelikan sekali jika kehidupanku sehari-hari selalu dikaitkan dengan perempuan yang ku taksir di tahun pertama SMA. Cynthia Mitterwift—dan Cassey Sletr.
Aku bukan seorang playboy, sebenarnya. Cassey Sletr adalah perempuan yang duduk jauh di depanku. Ia gadis yang cukup ramah, agak kalem, dan sangat tenang dengan kelompoknya. Ia gadis yang—entah mengapa, cukup menyita perhatianku selain Cynthia Mitterwift.
Berbeda dengan Cassey, Cynthia Mitterwift adalah perempuan yang agak bawel. Wajahnya cantik, dekat dengan semua teman laki-laki dan perempuan. Mungkin, ia gadis yang paling cantik di kelasku. Jika aku tidak bisa menyadari alasan utama aku menyukai Cassey, untuk masalah Cynthia aku sangat paham. Sulit dihindari bagi seorang pria untuk tidak melihat wanita dari penampilan luarnya. Meskipun begitu, Cassey adalah gadis yang manis. Dan aku mencoba memberi jarak pada diriku sendiri untuk tidak egois dalam menilai perasaan terhadap orang lain hanya dari penampilannya.
Jantungku tiba-tiba saja berdegup dengan agak kencang. Degupan itu begitu tiba-tiba bersamaan dengan Cynthia yang baru datang dan Cassey yang menatap ke belakang, ke tempat aku duduk dengan tenang. Buku itu terus aku genggam. Aku merasa aneh. Mungkin wajahku menggambarkan dengan gamblang bagaimana perasaanku sehingga banyak yang tahu aku menyukai siapa. Memalukan, sungguh.
"Kau memegang bukuku, Joan," kata Cassey.
"Oh, maaf," ucapku. Aku bergerak menghampirinya dan menyerahkan buku yang cantik itu padanya. Ugh! Lagi-lagi degup jantungku tak keruan. Semoga saja tidak terdengar siapapun. Mengapa selalu begini saat aku di dekat Cassey—atau saat Cynthia menatapku penuh tanya apa yang sedang aku lakukan dengan Cassey?!
Aku mengerling Cynthia sedikit. Ia langsung beralih memandang Eliza yang duduk di dekatnya. Tanpa ku sadari, Hary sudah bersiul-siul menggangguku.
"Ehm, Joan!" kata Hary meledekku. "Ehm, Cynthia!"
Aku berusaha menahan diri untuk tidak tersenyum dengan candaan Hary. Aku pun melirik Cynthia. Gadis itu tersenyum kecil menanggapi candaan Hary. Beda denganku, aku memutuskan untuk segera kembali ke tempat semula setelah mengatakan maaf kepada Cassey.
"Aku minta maaf bukumu terbawa olehku," kataku singkat. Cassey hanya mengangguk. Satu-satunya alasan mengapa aku kurang betah di samping Cassey adalah Cassey orang yang terlalu pendiam di dekatku. Ia berbicara seperlunya, menampilkan ekspresi seperlunya, dan entah mengapa agak takut menatapku. Aku bukan monster, jujur saja. Aku memang tidak tampan, tapi wajahku tidak bisa disebut buruk rupa. Meskipun begitu, aura Cassey membuat aku tertarik. Tertarik tanpa kejelasan.
Bel berdering. Aku terpaksa melupakan sejenak masalah percintaanku dengan gadis C. Tapi sebenarnya, tidak terlalu bisa. Pelajaran biologi dilakukan dengan diskusi kelompok. Aku sekelompok dengan kedua gadis C itu. Cynthia dan Cassey.
"Jodoh sekali Joan dengan Cynthia," ledek Hary. Suara itu menembus masuk dendang telingaku dengan sangat lancar.
Aku, entah mengapa, merasakan degup jantung yang tak keruan. Sulit dibedakan antara senang karena ledekan Hary atau apa. Aku melihat Cynthia tak menggubris ucapan Hary. Aku pun begitu. Namun sayangnya, anak-anak lain mulai tertular meledekku kecuali Cassey dan sahabt-sahabatnya.
Cassey hanya tersenyum simpul mendengar ledekan yang mengenaiku. Senyumnya singkat.
Aku pun berjalan menghampiri Hary cepat-cepat untuk menanggapi ocehannya. Aku menariknya ke sudut kelas. Beberapa anak mengira aku akan memarahinya karena suka meledekku. Tapi nyatanya, aku memasang pose siap berbisik, dan aku mulai mengatakannya. Mungkin ini harus aku lakukan. Mungkin perasaan ini sudah sangat jelas untuk siapa. Dan mungkin aku harus segera memulai menyelesaikannya.
***
Joan Azhars. Ya, itulah namaku. Aku berdiri kaku di depan Cynthia Mitterwift. Kata-kata itu—harus aku luncurkan! Kata-kata penting—saat itu juga!
“Aku—menyukaimu,” kataku pelan. Aku agak menunduk. Mungkin pengecut, tidak terlalu jantan untuk melihat wajah cantik Cynthia. “Aku menginginkanmu untuk jadi pacarku.”
Singkat sekali. Memang. Sangat singkat. Mau bagaimana lagi?! Aku gugup. Ini pertama kalinya aku mengungkapkan perasaan terhadap seorang wanita. Dan—aku tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikannya dengan benar. Tapi degup jantungku tidak sama. Aneh sekali. Bukan degup jatuh cinta yang biasa.
Aku diam sesaat. Sepertinya Cynthia sedang berpikir. Aku menunggu jawabannya dengan sabar. Sebenarnya, aku tidak ingin menunggunya. Aku ingin bilang padanya, ‘lupakan yang tadi. Itu hanya omong kosong.’ Tapi—itu tidak mungkin! Mana mungkin aku batal menyatakan perasaan padanya!
“Maaf, Joan,” kata Cynthia pelan. Hanya dengan kata ‘maaf’ darinya, sebenarnya aku sudah tahu kelanjutannya. Pastinya, kelanjutan kalimatnya tidak seperti kalimat-kalimat di dalam film-film. “Tapi aku tidak bisa. Aku belum boleh pacaran,” lanjutnya. Aku hanya bisa mengangguk dalam hati bahwa tebakanku benar soal jawabannya. Ternyata aku bisa membaca masa depan juga!
Tapi—hei?! Aku yang berada di depan Cynthia tidak bermaksud membaca masa depan. Aku ini baru ditolak. Tapi perasaanku bisa saja santai jika Cynthia tidak menatapku dengan perasaan kasihan.
Aku mengangguk tanpa aba-aba. Gerakan refleks, kau tahu, setelah aku gila karena lebih mementingkan ‘membaca masa depan.’ Aku hanya tersenyum getir membalas tatapan kasihan Cynthia. Malu sekali rasanya! Aku menembaknya—lalu ditolak dan dihadiahi tatapannya yang menyedihkan. Pasti aku akan menjadi bulan-bulanan di kelas nanti. Tidak dapat ku bayangkan! Tega sekali teman-temanku jika benar besok mereka mengejekku.
Aku tidak memperlama acara dengan Cynthia hari itu. Setelah mendengarnya, Cynthia langsung pulang. Dan aku memutuskan untuk pergi ke kantin, berusaha menghilangkan rasa malu dan sebagainya.
Inginnya melupakan, tapi tidak mungkin bisa. Dan ketika aku melihat Cassey di dalam kantin bersama sahabat-sahabatnya, aku langsung panik. Mengapa Cassey duduk di depan kantin yang mau aku tuju? Degup jantungku ini tidak mau kompromi. Akhirnya, aku hanya melangkah pelan seakan ada beban lima kilo di tiap pergelangan kakiku. Mungkin caraku berjalan ke kantin seperti robot usang yang baterai-nya mau habis. Sialnya, salah satu sahabat Cassey melihatku dan ia menunjukku dengan jemarinya. Akibatnya, Cassey dan seluruh sahabatnya yang lain menatapku penuh tanda tanya.
“Kau kenapa?” tanya Cassey, agak geli, aku jamin.
“Ah, tidak,” jawabku pelan. Aku menghentikan langkahku. Aku berdiri tegak selama beberapa saat, lalu melangkah lagi dengan normal. Aku hanya bisa menghembuskan nafas tanpa kelegaan yang berarti. Gila sekali, pikirku. Bahkan di hadapan Cynthia saja aku tidak pernah sepanik ini. Bahkan di depan Cynthia yang cantik saja—tunggu! Bah, gerutuku. Bagaimana ini? Aku salah! Debaran jantungku yang kencang—salah tingkah—semua bukan semata-mata karena Cynthia Mitterwift. Tapi itu semua karena Cassey selalu ada di sela-sela posisiku dengan Cynthia sedang dekat. Oh Tuhan. Hatiku teriris. Senyum Cassey yang mengembang bersama teman-temannya saat itu, memilukanku. Mengapa ini menimpaku? Mengapa ini menghancurkan hidupku?!
“Joan!”
Aku menoleh ke belakang. Aku merasa, Cassey dan teman-temannya ikut menoleh karena teman mereka dipanggil. Lalu aku melihat Hary mendekat.
“Bagaimana tembakan untuk Cynthia?” tanya Hary kencang. Benar-benar orang yang seenaknya.
“Gagal,” kataku masam, pelan sekali.
“Apa kau bermaksud bilang bahwa Joan baru saja menembak Cynthia?” teriak Adrel, salah satu sahabat yang duduk di dekat Cassey. Mendengar dia berteriak begitu, rasanya aku ingin berlari menerjang Adrel dan melemparnya ke pedalaman Afrika. Tapi sungguh, itu tak penting. Yang penting sekarang adalah aku ingin tahu bagaimana Cassey memandang diriku setelah semua itu.
Hary memperlihatkan raut prihatinnya padaku. Aku tak butuh, jujur saja. Toh pada kenyataannya Hary memberitahu Adrel juga kenyataannya dengan sama teriaknya. Aku berbalik ke arah Cassey dan teman-temannya, dan aku melihat sesuatu di sana . Aku tidak tahu apakah semua pemandangan ini disebabkan oleh kesadaran akan perasaanku atau tidak, tetapi—Cassey—tidak lagi memandangku. Di sudut matanya yang bisa aku tangkap, cintaku sebenarnya tidak bertepuk sebelah tangan kepadanya.
***
Sudah lewat dua minggu sejak penolakan Cynthia terhadapku. Aku benar-benar frustasi. Teman-teman sekelas masih sibuk menggosipkanku dengan Cynthia. Cynthia, anehnya, sekarang malah senyam-senyum mendengar gossip itu. Ini bukan saat yang tepat. Aku keliru terlalu jauh. Aku merasa bersalah pada Cassey. Apalagi saat aku tidak sengaja bertubrukan pandang dengannya. Samar-samar, aku mendengar gossip lain dari kelompok kecil Cassey. Apa aku terlalu sombong hingga menyimpulkan Cassey sebenarnya sudah cukup lama naksir aku?
Kalau aku bisa, aku ingin melemparkan tubuh ini ke jurang di Australia . Aku lupa namanya. Itu tempat terkenal untuk bunuh diri. Sayangnya, aku masih ingin hidup jika memikirkan perasaan ingin tahu soal perasaan Cassey.
Aku berusaha tenang akhir-akhir ini. Sudah lewat sebulan dari ‘tembakan salah sasaran’ itu. Gosip agak memudar, meskipun tidak hilang. Aku mulai bisa mengontrol diri untuk menyembunyikan raut wajahku. Meski yakin aku sebenarnya tak berhak melakukan ini, namun aku merasa senang dengan beberapa kesempatan yang membuat aku bisa sekelompok dengan Cassey.
“Apa kerugian seorang penulis?” ujarku. Pelajaran Bahasa sangat membosankan bagiku. Aku tidak bisa berpuitis. Tapi Cassey sangat menyukai pelajaran itu. “Kira-kira, apa jawaban indah untuk pertanyaan konyol itu?”
Anak-anak sekelompokku tertawa, termasuk Cassey. Syukurlah, Cassey sudah bersikap biasa. Bukan maksudku terlalu sombong, tapi memang kadang-kadang Cassey bersikap aneh di banyak kesempatan setelah kejadian itu.
Bagaimana aku tidak menyimpulkan bahwa Cassey sempat (ku harap masih) menyukaiku, jika dia sering mengalihkan pandangan dariku secara sinis setelah kejadian tembakan memalukan itu?! Cassey pun pernah menolak mentah-mentah satu kelompok denganku di pelajaran kimia ketika guru bilang kami bebas memilih kelompok (ketika itu, Adrel merekomendasikan aku untuk masuk ke kelompoknya). Juga masalah hubungan Cassey dan Cynthia yang agak renggang selama seminggu penuh (meskipun rasanya hanya aku dan mungkin—sahabat-sahabat Cassey yang tahu).
“Hm… mungkin, tidak bisa membedakan yang mana yang nyata dan yang mana yang impian,” jawab Cassey pelan. Aku tersadar karena Cassey telah menjawab pertanyaanku dengan penuh seksama. Sebenarnya, jawaban Cassey agak aneh. Aku tahu Cassey seorang penulis dan ia cukup andal dalam soal bahasa. Tapi, jika kerugian penulis seperti itu, apa seorang penulis seperti Cassey adalah pengkhayal besar? Maafkan aku, Cassey.
“Mengapa kau katakan itu?” tanyaku.
“Ya, bukan masalah gila atau tidak,” katanya. “Kalau sudah soal impian, banyak manusia yang tidak ingin bangun dari mimpinya. Hidup bisa lebih menyenangkan jika kita punya mimpi, meskipun kadang mimpi kita lebih keterlaluan dari kenyataan. Tapi itu menarik, kan ? Dunia yang hanya dimiliki oleh kita seorang, tidak terpengaruh oleh tokoh lain, adalah drama dalam otak kita sendiri.”
Aku tertegun mendengarnya. Yang lain bertepuk tangan dan mulai setuju pada pendapatnya. Tapi aku ingin lebih mengerti. Lebih mengerti segala sisi tentang Cassey. Aku, sebenarnya, tak pernah bisa normal lagi setelah salah menembak wanita. Aku pikir Cassey adalah gadis perasa. Perasaannya, pendapatnya, sering kali di luar dugaan bagi kami, para pria—atau mungkin hanya bagiku.
“Apa kau pernah tak ingin bangun dari mimpimu?” tanyaku pada Cassey. Sejujurnya, aku tak yakin pertanyaan itu akan dijawabnya.
“Ya,” jawab Cassey sambil tersenyum. “Mimpi,” katanya lagi seraya menerawang. Aku suka melihat gayanya yang seperti itu. Ketika ia menerawang jauh, seperti hanya ada aku dan dia di atas bukit dengan langit yang cerah. Pandangannya sangat menyejukkan. Aku ingin memilikinya untuk ku simpan seorang.
“Apa mimpimu?” tanyaku pada Cassey tiba-tiba. Orang-orang mulai menyadari keseriusanku pada masalahnya. Tapi aku tidak peduli. Mungkin ini pertama kalinya aku seserius ini dalam berbicara, berpandangan terhadap lawan bicara, dan menyimak dengan baik. Karena itu dengan Cassey. Orang yang harusnya sejak dulu mendengar kata suka dariku.
“Mimpi?” ujar Cassey. Ia berpikir sejenak. “Mimpi yang tidak seperti ini.”
***
Aku menggenggam tulisan-tulisan karya Cassey. Sangat mengagumkan membacanya. Meskipun aku tidak mengerti ragam bahasa, aku tidak peduli. Aku menilai Cassey adalah penulis terbaik di sepanjang hidupku.
Ketika kamu jatuh cinta dengan seseorang
Kamu tidak tahu apa-apa
Kamu peduli dengan debaran hatimu
Peduli saat kamu berbahagia
Tapi tidak peduli pada siapa
Tidak peduli pada kata mengapa
Ketika hatimu hancur karena patah hati
Tekad laki-laki bisa membuat semua terasa mudah
Yang ditinggalkan, tidak berarti
Yang disalah artikan, semakin tak terkendali
Jika semua bisa selesai dengan kata sesal, tidak dengan orang yang penyesal
Jika semua sesuai mimpiku, maka kau akan tamat dalam kisahku
Aku duduk memandang lurus pemandangan indah di depanku. Aku melihat Cassey bersama para sahabatnya. Sulit sekali menemukan Cassey hanya seorang diri. Gadis itu sering kali bersama tiga orang gadis lainnya, dan terkadang teman laki-laki yang paling dekat dengannya, Adrel, ikut menemani saat mereka semua di kantin sekolah.
“Sepertinya akhir-akhir ini ada yang menyita perhatianmu, Joan!”
Aku dikejutkan oleh suara Hary yang entah mengapa, aneh sekali rasanya mendengar dia berbicara dengan suara pelan. Apa mungkin perhatianku pada Cassey sekarang mulai mencolok? Hary tidak biasanya bicara serius untuk masalah apapun. Bahkan jika kau mengingat masalah Cynthia yang telah lama berlalu, kau akan tahu bahwa Hary bukan tipe orang yang serius.
“Ah, lupakanlah!” kataku kepada Hary.
“Hm… sepertinya masih gadis C,” tebak Hary. “Tapi yang sekarang ini Ca—”
“Yeah!” teriakku kencang, membuat suara Hary tertelan oleh suaraku. “Dengar,” tambahku, berbisik dengan suara yang sangat tegas. “Apa selang waktu dua bulan cukup layak untuk memberitahukan seorang gadis bahwa sebenarnya yang aku su—”
“Layak!” potong Hary, tidak menunggu aku menyelesaikan kalimatku. Ia menambahkan dengan suara berbisik, “Yang kali ini, aku yakin, tidak seperti saat kau menembak Cynthia.”
“Bagaimana kau tahu?” tanyaku, heran.
“Aku ini sahabatmu, bagaimanapun juga,” kata Hary, tersenyum padaku.
***
Aku duduk menunggu Cassey. Aku telah menghabiskan waktu di tempat ini—tempat dulunya aku menyatakan perasaanku yang salah kepada Cynthia—di taman yang sepi ini—yah, di sanalah aku. Kali ini, bahkan sebelum Cassey datang, jantungku sudah berdegup begitu kencang. Aku menyusun kata sebaik mungkin untuk nanti. Yang akan aku tembak sekarang adalah seorang penulis. Aku harus bisa memikatnya dengan kata-kataku yang sederhana, namun mewah jika dia memang merasakan hal yang sama denganku. Tetapi aku sudah membuang waktu lebih dari tiga puluh menit, Cassey belum juga datang. Aku mulai gelisah. Perasaan gelisah ini perasaan yang sulit diartikan. Aku belum pernah merasakan yang seperti ini.
“Maaf aku terlambat.”
Aku menoleh ke arah Cassey yang baru saja datang. Aku langsung berdiri, terpikat selama beberapa saat dengan wajahnya yang manis.
“Ada apa?” tanya Cassey.
“Aku memintamu ke sini,” kataku penuh kemantapan. “Untuk memberitahumu bahwa aku sudah lama menyukaimu.”
Cassey diam. Aku tidak tahu apa dia terpikat pada kata-kataku atau justru menahan rasa mualnya. Namun aku tetap melanjutkan kalimatku.
“Aku merasa kau adalah satu-satunya gadis yang bisa bertahan lama di hatiku,” kataku tegas. “Apapun yang akan kau jawab.”
Cassey tersenyum. Aku sudah membuka mulut ketika ia menyelaku. “Terima kasih,” katanya pelan. “Jika disanjung begitu indah dengan kata-katamu yang penuh kemantapan, aku berpikir untuk serius menjawabnya.”
Aku hanya mengangguk dalam diam.
“Aku meminta waktu untuk menjawabnya,” kata Cassey. Lancar sekali perkataannya. Aku melihat bola matanya begitu tajam menatapku. “Kau mau menunggu, kan ?”
“Ya.”
***
Aku menunggu Cassey di taman yang sama. Sekarang, pikiranku benar-benar kosong. Aku tidak mengerti mengapa Cassey meminta waktu begitu lama. Mulanya, ia hanya meminta tiga hari untuk menjawabnya. Lalu ia memperpanjangnya menjadi seminggu setelah pengakuanku. Dan sekarang—ini hampir memasuki minggu ketiga setelah pengakuan itu. Aku tidak mengerti dimana salahku.
“Aku tidak mengerti,” kataku pelan ketika Cassey melangkah mendekatiku. “Apa sesulit itu menjawabnya? Aku bisa menerima jika seandainya kau menolaknya.”
Cassey duduk di sampingku. Ia berkata dengan suaranya yang lembut, “Terlalu banyak yang ku pertimbangkan di dalam masalahku. Jika kau benar-benar ingin kemantapan, kau akan mengerti aku tidak siap saat ini. Tapi jika kau ingin aku benar-benar bicara soal perasaanku saat ini, aku bisa menyatakannya.”
Aku menatap Cassey yang duduk tenang di sebelahku. Aku lihat matanya tidak seramah dulu. Ada yang ia sembunyikan dariku. Tapi apa?!
“Aku bisa menunggumu bahkan setahun ke depan,” kataku sungguh-sungguh. “Dan itu tak akan mempengaruhimu, benar?”
Cassey tersenyum. “Aku akan menjawabnya lusa.” Cassey lalu bangkit dan berjalan pergi. Aku hanya bisa melihatnya melangkah menjauh. Perasaan yang ia tinggalkan—terlalu rumit untuk aku terjemahkan.
***
Aku berjalan masuk ke dalam kelas keesokkan harinya. Kepalaku agak berat. Mungkin aku banyak pikiran karena menyangka banyak hal untuk satu persoalan.
Aku yakin kelas masih sangat sepi ketika aku datang. Mungkin hanya satu-dua orang yang sudah datang. Beberapa langkah sebelum sampai ke ambang pintu, aku mendengar suara yang sangat pelan, tidak terlalu jelas, dan terpotong.
“—tak akan memberinya jawaban semudah itu—”
Sebelum seseorang itu menyelesaikan kalimatnya, yang lain telah berbicara.
“—seribu tahun pun tak akan mempengaruhinya—dia gadis yang sangat perasa—dan sangat terluka.”
Satu langkah sebelum menyentuh ambang pintu, aku mendengar bisik-bisik suara yang sangat aku kenal. Mungkin, semua sahabat Cassey. Aku pun berhenti di tempat itu, berniat mencuri-dengar karena aku yakin—ada info yang sangat penting mengenai aku dan Cassey.
“Aku pun akan seperti Cassey.” Aku mendengar suara Luna O’drey yang agak nyaring. “Seperti dilempar seribu ton kotoran burung, aku yakin Cassey merasakannya. Ia mungkin mengira dia hanya melihat ke arahnya saja, tapi tiba-tiba dia menyatakan perasaan kepada orang lain. Bagaimana hancurnya dia.”
“Aku dengar dari Hary, Joan melakukan kesalahan dengan menyatakan perasaannya pada Cynthia.” Suara yang aku kenal sebagai Sisca telah berbicara. “Pernyataan itu mungkin hanya kita yang tahu. Apakah dengan itu semua mempengaruhi pilihan Cassey akhirnya?”
Aku tidak bisa menahan keingan untuk masuk ke dalam kelas. Ketika mereka melihatku, mereka hanya diam selama beberapa saat.
“Aku sungguh-sungguh pada Cassey,” kataku, sedih sekali rasanya mendengar sahabat-sahabat Cassey merasa sangsi padaku.
Aku bahkan seperti melihat singa-singa ganas sedang menatapku. Mereka tidak ramah. Seperti Cassey yang baru kemarin ku temui di taman. Matanya yang tajam—memberikan kegelisahan padaku. Apa ini arti semuanya?!
“Aku memang salah menerka,” kataku mengakui, di depan seluruh sahabat Cassey, di depan seluruh tempat curhat Cassey. “Tapi kali ini tidak salah. Aku yakin sebelum aku menyatakannya pada Cynthia, aku mempertimbangkan Cassey. Namun aku keliru dengan menerka bahwa semuanya lebih ke arah Cynthia.”
Luna tertawa tanpa suara. Tiga orang lainnya, tidak menatapku. Aku mendengar suara langkah kaki masuk ke dalam kelas, tetapi aku tak peduli.
“Aku memang tidak berguna,” kataku, mengakui dengan sangat jelas. “Hanya karena Cynthia lebih—”
“Cantik dan pintar, ramah dan populer.”
Aku menengok ke belakang. Cassey ada di sana .
“Aku sudah lama menyukaimu,” kataku, meyakinkan Cassey yang sangat dingin dalam menatapku. “Sebelum aku menyatakannya pada Cynthia.”
“Apa menurutmu itu akan merubah jawabanku?” ujar Cassey, dingin. Ia tertawa masam. “Gadis yang menunggu di bangkunya, melirik Joan Azhars yang terkadang mencuri pandang ke arahnya, lalu gadis itu tersenyum dalam hati. Ia bertanya-tanya—apakah Joan Azhars memiliki perasaan yang sama dengannya? Tapi Joan Azhars telah pergi untuk menemui Cynthia lebih dulu.” Cassey terdiam sesaat, menelengkan kepalanya untuk menahan air matanya. “Joan Azhars telah pergi menemui Cynthia lebih dulu,” ulang Cassey dengan penuh tekanan. “Gadis yang dinomor duakan hanya bisa miris sendiri. Memimpikan ia tertidur dan itu bukan kenyataan.”
“Tak peduli bagaimana kekeliruanku, yang menjadi kenyataannya adalah kau yang nomor satu!” kataku, berusaha meyakinkannya.
“Apa menurutmu aku bangga mendengarnya?” ujar Cassey. Aku terpojok di sana . Beberapa teman sekelas yang datang, langsung keluar lagi setelah Adrel dan para sahabat Cassey keluar untuk memberitahu mereka bahwa kelas akan dipinjam.
“Aku tidak tahu,” kataku. “Itu semua di luar perkiraanku.”
“Oh, aku tidak bangga sama sekali!” bentak Cassey padaku. Wajahnya merah padam. “Mengetahui kau menyukaiku sejak lama, justru memperburuk semuanya. Aku kalah karena aku tidak cantik, tidak populer, tidak ramah, dan tidak pintar!” Aku sedih melihat Cassey menangis. “Kau tahu tak ada alasan kau menyukaiku! Itulah sebabnya kau pergi menemui Cynthia lebih dulu!” Aku tidak bisa menyela ucapannya karena Cassey tidak berhenti berbicara. “Andaikan Cynthia menerimamu, mungkin sisa-sisa perasaanmu padaku hanya tinggal buih saja. Lalu jika kau mendengar aku menolakmu tiga minggu yang lalu, mungkin saat ini, kau sudah duduk memikirkan gadis lain yang kau pikir salah sasaran lagi.”
“Itu tidak akan terjadi!” kataku, membentaknya. “Aku sudah bilang kau akan tetap menjadi gadis yang paling lama ada di hatiku. Selamanya.”
“Oh, jangan buat aku mual!” kata Cassey. Ia menghapus air matanya dengan liar. “Aku tidak menyukaimu. Aku sangat membencimu.”
Jika Cynthia yang mengatakan dua kalimat terakhir dari mulut Cassey, mungkin aku bisa tegar untuk tidak menangis. Tapi ketika bibir Cassey menyeruakkan kebenciannya padaku, aku hanya bisa menahan keinginan untuk menangisinya.
“Baiklah,” kataku pelan, menyerah. “Aku tidak akan mengusikmu lagi. Aku minta maaf.”
Aku sudah berjalan membelakanginya, pergi untuk mencari tempat yang jauh dari kawanannya, ketika Cassey berbicara kembali.
“Dua bulan—tidak, mungkin satu bulan atau beberapa minggu—ah, paling hanya beberapa hari setelah ini,” katanya sinis. “Kau sudah menghadapkan gadis lain padaku.”
“Perasaanku tidak serendah itu,” kataku pelan, masih membelakanginya. “Tapi itu hakmu untuk menilai.”
Aku berjalan pergi beberapa langkah.
“Apakah kamu mampu mempertanggung-jawabkannya—menghindari jilatan ludah sendiri pada kata ‘aku adalah yang terlama di hatimu?’” Cassey tersenyum sendiri, aku yakin. Aku akan menjawabnya, tetapi Cassey lagi-lagi menyelaku. “Aku tidak butuh jawabanmu sekarang. Atau mungkin tidak butuh selamanya.”
Aku berbalik. Itulah, mungkin, terakhir kalinya aku berbicara dengan Cassey di bulan itu. Dan aku hanya bisa berdiri di tempat—saat murid-murid lain masuk ke dalam kelas dan memandangku dengan tatapan kasihan.
Cynthia bisa memberiku tatapan kasihan waktu itu, tapi kini—puluhan anak memandangku dengan tatapan yang sama. Bahkan ketika aku menyadari Cynthia berada di dekatku untuk mengatakan kata maaf (karena ia kira ia terlibat secara tak langsung akan masalahku dengan Cassey), aku hanya bisa mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Lidah yang kelu—mungkin semua karena aku sadar potongan-potongan ucapan Cassey ada benarnya. Aku pergi menemui Cynthia lebih dulu karena Cynthia lebih cantik—lebih memiliki alasan yang jelas untuk rasa sukaku kala itu. Tapi harusnya aku sadar sejak dulu. Perasaan suka yang sebenarnya—adalah perasaan suka yang mengalir alami—tanpa kau pandang siapa dia dan bagaimana dia—perasaan satu-satunya yang tidak memandang hal lain selain gelora yang menggelitik jiwamu.
Aku terpejam, masih berdiri di tempat yang sama. Seperti patung dengan seluruh otot yang mengeras, aku berpikir. Jawaban Cassey—my lady’s answer—mungkin tak akan berubah. Tapi kalimatku padanya, tak akan berganti, aku janji.
‘Aku merasa kau adalah satu-satunya gadis yang bisa bertahan lama di hatiku.’
Aku tahu, kalimat itu tak akan berganti. Lalu aku membuka mataku karena Hary telah menarikku untuk menyingkir dari sana . Ia menunjukkan secarik kertas padaku. Tulisan di kertas itu—aku mengenalnya. Tulisan Cassey. Dan aku baru menyadarinya. Puisi yang kala itu aku baca adalah untukku. Jika kau menyadarinya—pada penggalan puisinya yang akhir.
Ketika kamu jatuh cinta dengan seseorang
Kamu tidak tahu apa-apa
Kamu peduli dengan debaran hatimu
Peduli saat kamu berbahagia
Tapi tidak peduli pada siapa
Tidak peduli pada kata mengapa
Ketika hatimu hancur karena patah hati
Tekad laki-laki bisa membuat semua terasa mudah
Yang ditinggalkan, tidak berarti
Yang disalah artikan, semakin tak terkendali
Jika semua bisa selesai dengan kata sesal, tidak dengan orang yang penyesal
Jika semua sesuai mimpiku, maka kau akan tamat dalam kisahku
Aku membacanya lagi. ‘Yang ditinggalkan—tidak berarti. Yang disalah-artikan—semakin tak terkendali.’ Aku memahaminya. Itu perasaannya. Dan ketika aku melanjutkan bacaanku dalam hati—‘jika semua bisa selesai dengan kata sesal, tidak dengan orang yang penyesal. Jika semua sesuai mimpiku, maka kau akan tamat dalam kisahku.’ Cassey—tidak berniat memaafkan kekeliruanku.