Lovaphobia


            Pernahkah kau mencintai seseorang dengan sungguh-sungguh? Jika ya, maka kau sepertiku. Pernahkah kau merasakan perasaan kesal pada orang yang kau cinta karena dia sering tak peka pada perasaanmu? Jika ya, maka kau sepertiku. Tapi pernahkah kau bersedih karena kau kehilangan orang yang kau cinta? Jika ya, maka kau sepertiku.

            Aku menitikkan air mata setiap kali aku mengingatnya. Sosok pemuda yang begitu memikat dan meluluh-lantakkan hatiku. Meskipun senyumnya seringkali menenangkanku, tapi senyumnya juga sering menghancurkanku.


***

            Aku menelusuri tiap lorong di toko buku. Buku yang aku cari sulit sekali ditemukan. Aku telah bertanya kepada penjaga toko tentang letak buku yang kucari. Menurutnya, buku itu terletak di daerah dimana aku berdiri. Tapi, sudah lebih dari sepuluh menit aku di sana, aku tidak menemukan buku itu.

            Di tengah keseriusanku, seorang pemuda tak sengaja menyenggolku. Aku mendengarnya mengucapkan kata maaf. Aku membalasnya dengan senyum ramah, lalu kembali ke kegiatanku.

            “Ketemu,” kata pemuda di sampingku. Refleks, aku menoleh ke arahnya. Aku terkejut melihat sampul buku yang dipegangnya.

            “Ah, dimana itu?” tanyaku.

            Pemuda yang tadi menyenggolku menunjuk ke rak atas yang tidak sanggup kujangkau. Aku menggerutu kecil. Aku memang tidak pendek, tapi juga tidak tinggi. Tanpa kusadari, pemuda itu mengambil buku yang sama dengan bukunya, lalu menyerahkannya padaku.

            “Kau suka psikologi?” tanyanya.

            “Ya,” jawabku. “Aku akan mengambil jurusan itu selepas SMA. Kau?”

            “Aku kuliah di jurusan psikologi,” jawab pemuda itu. Aku hanya mengangguk mendengarnya. “Namamu siapa?”

            Aku menengadah untuk menatapnya. Pemuda itu tersenyum ramah dan aku merasa tidak asing dengan senyumnya. Melihat pemuda itu mengangkat sebelah alisnya, aku pun tersadar. “Namaku Evana Putri.”

            “Aku Raditya Putra,” katanya. “Nama belakang kita serasi,” tambahnya jahil.

            Aku langsung mundur beberapa langkah. Aku mendekapkan buku yang tadi diberikannya dan menundukkan kepalaku. Aku tahu, pemuda di sampingku merasa heran melihatku bereaksi seperti itu. Dengan ragu-ragu, Radit menyentuh tanganku dan bertanya mengenai keadaanku.

            Aku menangis. Orang-orang di dalam toko langsung memperhatikanku. Tapi sungguh, aku tidak bisa menghentikan tangisku. Perasaan yang kurasakan saat ini, sama seperti awal perasaan ketika aku menyadari aku akan mencintainya.

***

            “Kau harus bisa melupakannya, Eva,” kata Fania, sahabatku. “Kisahmu dengan Riski sudah berlalu lebih dari tiga tahun. Harusnya kau sebal dengan Riski, bukan dengan perasaan cinta yang bisa muncul kapan saja.”

            Aku menggelengkan kepalaku. “Aku tidak menginginkan hal semacam itu,” kataku. Aku tidak perlu bersusah payah menjelaskan kepada Fania bagaimana akutnya phobiaku terhadap perasaan cinta.

            “Tapi aneh,” gumam Fania. “Hanya karena kisah cintamu dengan Riski rusak, kau merasa takut dengan perasaan itu. Kau harus tahu, tidak semua pemuda seperti Riski.”

            Pikiranku melayang jauh. Aku tidak akan pernah mengerti. Aku tahu aku bersedih hati karena dia. Karena Riski. Tapi aku tidak bisa mengerti, mengapa ketakutan itu justru hadir setiap aku berdebar-debar karena suka.

            Seperti kembali ke masa itu, aku ingat bagaimana posisiku saat berdiri di lapangan dan berpapasan dengannya. Riski, kakak kelasku di SMP, tersenyum ramah padaku. Aku membalas senyumnya dan aku menangis di kenyataan. Fania memelukku. Aku tidak akan pernah lupa. Aku tidak akan melupakan setiap kenangan bersamanya.

            Riski dan aku memang tidak pernah berteman. Kami memang tidak akrab. Tapi kami cukup mengerti—atau aku, lebih tepatnya, yang mengerti—aku dan Riski telah akrab dalam batin melebihi siapapun.

            Riski selalu menemukan sosokku. Dimana pun aku berada, matanya langsung menemukanku dan tersenyum sangat ramah padaku. Aku lebih dari berdebar-debar setiap kali bertemu dengannya. Meskipun kami jarang berbicara, aku merasakan sesuatu yang tak akan bisa kujelaskan dengan puisi manapun.

            Riski pernah bertanya padaku, “Kau selalu ke perpustakaan?”

            “Ada alasan lain aku senang mengunjunginya,” jawabku kala itu.

            “Aku juga,” katanya pelan. “Ada seseorang yang membuatku senang mengunjungi perpustakaan—dan orang itu berkata sepertimu.”

            Aku memejamkan mataku. Fania merangkulku, namun aku tidak bisa melupakan setiap kenangan yang diputar ulang di otakku.

            “Kau menyukai Eva, Riski?”

            Aku mendengarnya. Dan aku ingat bagaimana jantungku berdebar begitu kencang. Mukaku memerah selama aku bersembunyi untuk mendengar jawaban dari pertanyaan temannya.

            “Eva?” ulang Riski. Dia terdiam sesaat untuk berpikir, lalu menjawab. “Aku tidak menyukainya. Perasaanku padanya lebih besar dari itu.”

            Aku tidak ingat bagaimana aku bisa tersenyum waktu itu. Jika aku mengingat kelanjutan kisahku, aku akan menyesal telah berharap begitu banyak.

            Riski tidak pernah datang menemuiku untuk mengungkapkan perasaannya. Pernah, temannya menyusun pertemuan untuk kami. Aku tahu, teman-temannya gerah dengan tingkah lambannya. Pemuda itu tidak pernah maju dalam kisah cintanya denganku. Tapi ternyata, Riski tidak datang di pertemuan—dan sejak itu, ia menjauh dariku.

            Hatiku lebih hancur ketika ia membuang muka dariku di perpisahan sekolah angkatannya. Ia menggandeng seorang gadis di depan mataku. Dan ia tidak pernah tersenyum lagi. Kepada siapapun, sejauh aku memperhatikannya waktu itu.

***

            “Kita bertemu lagi,” kata Radit.

            Aku tersenyum lemah. Aku sama sekali tidak menyangka. Mungkin, aku harusnya mengganti toko buku favoritku.

            “Oh iya, Eva,” katanya. “Boleh aku bertanya? Mengapa di pertemuan pertama kita, kau menangis di dekatku?”

            Aku berusaha untuk menghindar, tapi Radit mengikutiku. Aku malu, jujur saja. Meskipun aku tidak lagi merasakan debaran seperti waktu itu, aku tetap tidak ingin berada di dekatnya. Radit memiliki senyum yang hampir sama dengan senyum Riski. Dan aku tidak menyukainya.

            “Kau tinggal menjawabnya dan aku akan pergi jika kau tak ingin aku mengikutimu,” kata Radit padaku.

            Aku berhenti dari langkah menghindarku dan mulai menatapnya dengan berani. Dengan suara pelan, aku menjawab. “Aku punya phobia. Aku tidak suka merasakan perasaan seperti—”

            Radit terlihat kebingungan dengan jawabanku.

            “Sudahlah,” kataku. “Itu bukan urusanmu. Aku punya phobia jatuh cinta. Sebelum menyukai seseorang, aku punya alarm,” tambahku dengan suara cukup kencang. Aku berbalik dan berusaha menahan mental terhadap tawa kencangnya. Tapi tidak. Dia tidak tertawa.

            “Itu artinya—kau punya kasus di bidangku,” katanya pelan.

            Aku tertawa mencemooh. “Kau senang?” tanyaku. “Aku memang sinting karena punya masalah di bidangmu.”

            “Tidak, tidak,” kata Radit cepat-cepat. “Aku ingin membantu.”

            “Tidak perlu,” kataku.

            “Tentu saja perlu,” paksa Radit. “Dengar, Eva! Alasanku masuk ke jurusan itu—karena aku ingin—ingin menolong. Dan orang yang ingin aku tolong—,” katanya pelan. Aku melihat mimik mukanya berubah. “—termasuk kamu.”

            Aku tidak paham. Bagaimana aku bisa jatuh ke lubang yang sama. Mungkinkah aku lebih bodoh dari tikus?

            “Ada seseorang yang membuatku senang mengunjungi perpustakaan—dan orang itu berkata sepertimu.”

            Dan jelaskan bedanya ucapan Riski dengan ucapan Radit padaku!

            “Aku ingin menolong. Dan orang yang ingin aku tolong—termasuk kamu.”

            Wajahku mengeras. Seperti melihat orang jahat, aku menyiagakan diri.

            “Eva,” kata Radit pelan. “Aku merasakan perasaan yang aneh sejak pertama kali bertemu.”

            Aku tidak tahu Radit akan membawaku ke arah pembicaraan yang mana. Tapi satu hal yang aku tahu, aku tidak menangis. Aku pun mengerti, Radit tidak datang membawa hal yang menjadi phobia bagiku.

            “Bisa kau diskusikan masalahmu denganku?” tanya Radit pelan. “Aku ingin bertukar masalah denganmu.”

            Aku menatapnya dengan berani. Dan kini kusadari, Radit tidak hanya memiliki senyum yang sama seperti Riski, tetapi matanya pun sama. Ramah dan sendu.

***

            Aku telah menceritakan semua masalahku mengenai phobia jatuh cinta kepada Radit. Aku tidak menganggap Radit adalah teman curhat yang baik, tapi dia memang pendengar yang baik.

            “Sekarang, ceritakan masalahmu,” kataku.

            “Gampang,” katanya. “Tapi, aku pikir, ada hal yang lebih penting dibandingkan curhat padamu sekarang.”

            “Oh, kau menjebakku?” gumamku curiga. Aku sudah berdiri untuk meninggalkannya di kafe. Tapi tidak jadi. Aku harus membayar minuman yang sudah kupesan lebih dahulu untuk pergi.

            “Aku ingin mengajakmu pergi,” kata Radit.

            Mataku menyinis memandangnya. “Kau akan menjebakku,” tuduhku.

            Radit menggeleng lemah. “Percaya padaku,” katanya. Dan aku, lagi-lagi, akan jatuh ke lubang yang sama karena mempercayainya.

            Aku setuju dengan ajakan Radit. Radit membawaku dengan mobilnya ke suatu tempat. Aku memang tidak tahu kemana dan aku tidak bertanya mencari tahu. Anehnya, aku begitu mempercayainya. Apakah ini hipnotis? Tapi rasanya, hipnotis tidak akan sempat membuatku berpikir sejauh ini.

            Mobil Radit berhenti dan aku keheranan menatap tempat aku dan dia sekarang berada. Kami berada di RSJ.

            “Radit,” kataku dengan penuh keingintahuan. “Jika kau ingin aku tenang, seharusnya kau bawa aku ke psikiater. Tapi sepertinya kau lebih rela aku jadi pasien di sini.” Aku menggerutu dan mulai memutuskan untuk pulang ke rumah.

            “Tunggu, Eva!” katanya pelan. “Kau harus melihat. Aku sudah lama ingin bertemu denganmu dan menunjukkan kenyataan ke depan matamu.”

            Aku tidak mengerti, tapi Radit sudah menarikku untuk turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah sakit. Aku mengikutinya dengan terpaksa dan seringkali menahan nafas melihat pemandangan di dalam sana.

            Radit membawaku ke suatu tempat di dalam rumah sakit. Aku tidak tahu kemana tetapi aku bersumpah akan membunuhnya jika dia mau mengunciku bersama orang gila. Namun nyatanya tidak. Dia berhenti di depan sebuah pintu.

            “Kau berani masuk?” tanyanya pelan. Suaranya terdengar sendu, begitu pula raut wajahnya dan seluruh tubuhnya.

            “Aku bukan suster,” kataku geram. “Kenapa kau begitu menyebalkan?!”

            Radit menghentikan ucapanku. Ia membuka pintu kamar di dekatnya dan memaksaku melihat ke dalam ruangan itu. Aku memberontak, tapi akhirnya kalah karena kekuatannya. Aku terpaksa melihat ke dalam ruangan itu dan aku langsung terduduk lemas.

            Aku terisak. Aku duduk terdampar di lantai yang dingin dengan pandangan mata lurus ke arah pasien di sudut ruangan yang memiliki pandangan mata kosong dan tidak fokus. Pasien itu menggenggam kedua jemari tangannya dan terlarut dalam kegiatannya. Aku tidak sanggup berdiri meskipun Radit membantuku dengan air mata yang bercucuran.

            “Riski,” kataku lirih.

            Aku tidak percaya. Pemuda tampan yang menjadi cinta pertamaku sedang berada di pojok ruangan itu sebagai pasien RSJ. Aku tidak percaya. Aku tidak akan mau percaya.

            Riski pernah tersenyum sangat ramah padaku. Jika kau berada di sini, kau akan tahu bagaimana gilanya aku memandang Riski sebagai orang gila. Aku lebih rela Riski meninggalkan luka begitu dalam pada hatiku dibandingkan melihatnya seperti itu. Aku tidak rela.

            Aku berusaha berdiri dan berjalan mendekatinya. Aku menangis.

            “Riski,” kataku pelan. “Apa kau ingat aku? Aku Eva.”

            Riski memandangku, tapi mengacuhkanku. Ia kembali ke kegiatannya. Menganggapku seperti debu. Aku memandang Radit dengan pandangan meminta penjelasan. Radit memaksaku pergi dari ruangan itu. Dengan susah payah, ia berhasil menyingkirkanku dari ruangan itu.

            “Eva,” katanya pelan. “Riski—pernah bilang padaku bahwa ia menyukai seorang gadis bernama Evana Putri. Dan sekarang, aku akan menjelaskannya kepadamu.”

            Aku terduduk lemas di dalam rumah sakit. Sebentar lagi, aku yakin, aku akan jadi pasien rumah sakit itu juga.

            “Kau cinta pertama Riski,” kata Radit. “Dan aku adalah kakaknya.” Ia berhenti dan memandangku. Aku tidak peduli lagi pada kesamaan senyum dan mata Radit yang selama ini aku pertanyakan. “Dia bilang padaku bahwa dia akan mengatakannya kepadamu suatu hari—suatu hari, tepat ketika orang tua kami saling melempar gugatan cerai.”

            Aku menunduk dan terlarut dalam tangisanku.

            “Eva,” katanya pelan. “Riski memiliki tekanan batin dari keluarga. Dia tidak percaya lagi pada keutuhan dan memaksamu mengikuti kepercayaannya dengan mengacuhkan dan meninggalkanmu. Riski ingin kau membencinya. Tapi aku tidak ingin kau membencinya.”

            Radit ikut menangis. Ia mengatur nafasnya supaya mampu bercerita dengan baik kepadaku.

            “Setelah kelulusan SMP, dia membuat hidupnya hilang ditelan bumi,” kata Radit. “Dia mengunci rapat setiap hal yang mampu membuatmu tahu dimana dia berada. Dia terus bertahan dengan kepercayaannya—dan kelemahannya. Harusnya ia mengerti. Ia akan bertahan dengan kau di sampingnya, bukan meninggalkanmu.”

            Aku menangis. Aku membayangkan sosok Riski yang selama ini aku kenal dengan Riski yang aku temui hari ini. Dia tidak sama lagi. Tetapi aku tahu, perasaanku padanya masih sama. Aku mencintainya. Aku mencintainya lebih dari siapapun.

            Aku terisak. Aku bangga dengan perasaanku. Aku menjaga hatiku untuknya. Aku melahirkan phobia sehingga hatiku kukunci untuk memilih siapa saja orang yang pantas aku cinta. Dan orang itu adalah Riski. Tetap Riski meskipun ia telah gila.

            “Eva,” kata Radit lagi. “Maukah kau menemaninya? Maukah kau—menunggu Riski, Eva?”

            Aku tidak perlu berpikir jauh. Aku hanya perlu mengangguk dan semua itu akan selesai.

            “Aku akan menunggu,” kataku. “Aku hanya akan menunggu Riski.”



3 Responses

  1. orgil Says:

    oh iya, sekarang kamu udah bisa komen di blog aku say! hehe, makasih ya sarannya waktu itu!


  2. @amel: siip, nanti aku coba ya. ide ceritanya gue dpt saat mengkhayal di tengah hujan. :D


Lagu