karya: imutt
"Ehem." Aku mendengar Jennifer berdeham. Aku menoleh ke arahnya, memastikan tidak ada yang salah, lalu kembali ke kegiatanku semula. "Ehem." Aku mendengar lagi dehaman Jennifer. Bedanya, sekarang sedikit lebih keras. Aku berpura-pura acuh tapi— "Ehem!" Suara Jennifer terdengar semakin keras.
"Aku pergi dulu, terima kasih atas bantuannya," ucap Jimmy kepadaku. Aku tersenyum kepadanya lalu membiarkannya pergi dengan muka tak enak. Setelah kepergian Jimmy, Jennifer leluasa mendekatiku.
"Apa?" tanyaku.
"Sedang apa dia tadi?" tanya Jennifer tanpa basa-basi.
"Memintaku meminjamkan ia buku untuk tugas sekolahnya," jawabku cepat. Aku meneliti ekspresi Jennifer yang tidak sepenuhnya percaya. "Tak ada yang aneh, oke? Percaya saja."
"Bukan, bukan," kata Jennifer buru-buru. Jennifer semakin merapat ke arahku dan aku tahu ia membisikkan sesuatu kepadaku. "Anna, diantara kita berempat hanya Alice yang sudah membuktikan janji kita. Aku, ya, hanya tak mau kau—bagaimana sopannya, ya—melupakan sahabatmu setelah menjadi kekasih Jimmy nantinya."
Aku berpura-pura tidak mendengarnya. Aku berjalan menjauhi Jennifer secepatnya. Aku, tentu saja, tidak terima dituduh seperti itu. Memangnya aku pembohong?! Aku bisa membuktikan apa yang sudah ku ikrarkan dengan sangat baik. Dan ketika aku bilang bahwa persahabatan lebih penting dari pacar, tentu saja, itu nyata.
"Maaf, Anna," kata Jennifer sembari mengejarku. "Aku lupa bahwa kau sensitif mengenai hal itu."
Benar sekali, aku berkata dalam hati. Aku sangat sensitif terhadap tuduhan. Apalagi mengenai persahabatanku yang telah terbina selama hampir dua tahun lamanya.
Oh iya, namaku Evanna Alida. Aku sekolah di EF International School of English di Bournemouth. Aku mempunyai tiga orang sahabat. Mereka adalah Jennifer, Alice, dan Rossalie. Di antara kami bertiga, hanya Alice yang sudah punya pacar. Dan di dalam persahabatan kami, ada satu ikrar yang sangat kami jaga. Tempat pertama di hati kami selain Tuhan dan keluarga adalah sahabat. Persahabatan kami harus lebih agung dari hubungan kami terhadap pacar. Aku bisa paham mengapa Jennifer khawatir. Satu sekolah menganggap kami adalah geng kecil yang harus diberantas. Rumor jelek tentang pecahnya persahabatan kami diprediksi seorang anak perempuan kelas XI akan terjadi karena seorang cowok. Ya. Cowok. Alice bisa membuktikan kepada kami semua bahwa dia tidak begitu. Ia masih tetap bersama Hans dan tidak berubah sama sekali sikapnya kepada kami. Tapi, tiga orang lainnya termasuk aku, belum bisa membuktikannya karena kami belum punya pacar. Dan Jimmy adalah orang yang sangat aku sayang.
"Aku maafkan kali ini," kataku kepada Jennifer. Mungkin aku sudah membuang banyak waktu untuk berpikir dan Jennifer sekarang terlihat benar-benar menyesal. "Lain kali aku tak akan jamin."
"Sip," kata Jennifer seraya tersenyum. Aku balas senyumnya dengan sungguh-sungguh dan kami berdua pergi ke kantin sekolah untuk menemui dua orang sahabat kami.
Aku dan Jennifer melihat Alice dan Rossalie sudah duduk di salah satu meja kantin. Hans, pacar Alice terlihat duduk bersama teman-teman laki-lakinya di meja yang agak jauh. Alice pasti tidak akan kesulitan menjalani janji persahabatan kami. Hans sangat pengertian. Di beberapa kesempatan Hans tidak genit seperti cowok lainnya yang selalu menempel ke arah pacarnya.
"Lama sekali," kata Rossalie sinis. Aku hafal kepribadian Rossalie yang seperti itu. Rossalie malas menunggu orang. Sikapnya sama seperti Jennifer. Bedanya, Jennifer selalu berbicara tanpa berpikir, sedangkan Rossalie berkata pedas setelah berpikir. Aku dan Jennifer berpura-pura tidak mendengarnya dan langsung duduk di kursi masing-masing. Tiba-tiba saja ponselku berdering.
"Oh, siapa sekarang?!" tanya Rossalie kesal.
"Jimmy," kataku memberitahu. Aku memberi pandangan tak mengenakkan kepada semua sahabatku. Alice, beruntungnya, sangat mengerti aku.
"Pergilah!" katanya.
"Terima kasih, Alice!" kataku cepat-cepat dan langsung berlari keluar kantin sambil mengangkat telepon dari Jimmy.
***
Seminggu sudah berlalu sejak kejadian itu. Sekarang, aku adalah pacar Jimmy. Aku tidak dapat menggambarkan bagaimana bahagianya aku setelah menjadi pacarnya.
"Minggu ini kita ke Oceanarium, ya!" kata Alice. Kami semua setuju. Satu hari istirahat sangat penting bagi kami yang pelajar. Dan tentu saja, besok adalah hari khusus cewek. Hans atau Jimmy tidak boleh ikut.
Tiba-tiba saja bel masuk berdering. Kami berempat tidak sekelas, jadi kami langsung berpencar ke kelas masing-masing. Kelasku bersebelahan dengan kelas Jimmy. Ketika aku sudah berada di radius dua meter dari kelas, aku melihat Jimmy didepan kelasku. Ia sedang menungguku.
"Minggu kau ada acara?" tanyanya.
"Ada," jawabku riang. "Hari khusus cewek, kau tahu. Kami akan ke Oceanarium berempat. Mungkin setelah itu kami akan mampir ke Opera House atau Alcatraz. Senang sekali. Sudah lama tidak berkumpul jadi—" Aku berhenti berbicara ketika melihat Jimmy tak senang.
"Besok aku mau mengajakmu ikut outdoor dengan teman-temanku," katanya memberitahuku. "Kau bisa pilih ski air atau berkuda. Dua-duanya kesukaanmu, kan?"
Aku diam sesaat. Aku tidak mungkin membatalkan hari khusus cewek bersama para sahabatku. Lagipula, dua hari yang lalu aku baru saja pergi bersama Jimmy ke kota dengan kereta api. Jadi, sekarang adalah waktu untuk sahabat-sahabatku.
"Aku tidak bisa," jawabku pelan. Aku sangat berharap Jimmy mau mengerti. Ternyata untuk menolak ajakannya cukup membuatku gemetar. Aku takut ia kecewa. "Kau sudah tahu aku punya acara dengan teman-temanku, kan? Aku tak bisa bersamamu nanti."
"Lalu bagaimana denganku?" tuntutnya. "Aku sudah terlanjur bilang kepada teman-temanku."
"Katakan lagi yang sejujurnya," kataku pelan. "Aku yakin kau bisa. Nah, sekarang aku ke kelas dulu." Aku masuk ke dalam kelas dan berpura-pura tak melihat wajahnya. Sekarang, yang aku takutkan adalah—aku tidak bisa seperti Alice.
***
Pulang sekolah terasa membosankan. Jimmy marah padaku. Ia menghindariku ketika jam pulang sekolah tiba. Aku tidak tahu apa salahku. Kalau Jimmy lebih dulu memintaku, aku pasti mau. Masalahnya adalah aku orang yang konsekuen. Aku tidak akan membatalkan rencanaku bersama teman-teman. Mereka adalah tempat pertama bagiku. Lebih utama dari Jimmy.
"Kau bertengkar dengan Jimmy?" tanya Alice. Aku dan dia berada di dalam asrama perempuan. Alice, aku, Jennifer, dan Rossalie tidur satu kamar di asrama. Tapi Jennifer dan Rossalie sedang keluar.
"Ya," kataku pelan. Beruntungnya aku karena Jennifer dan Rossalie tidak ada. Kalau ada, mereka pasti mencecarku. Bukannya tidak suka, tapi pertengkaran seperti ini akan membuat mereka menarik kesimpulan terlalu jauh. Misalnya seperti aku berada dalam posisi bahaya yang mungkin saja akan melupakan persahabatan hanya karena Jimmy. Tentu saja sebenarnya tidak. Tapi aku menerka, opsi kedua yang mereka telurkan adalah Jimmy orang yang menyebalkan, tidak seperti Hans, dan termasuk cowok posesif. Nah, untuk opsi kedua, aku ragu untuk mengatakan tidak!
"Kalau begitu ikuti saja maunya," kata Alice memberi saran padaku. "Masih ada hari lain. Kau boleh izin dari acara minggu nanti."
Aku menggeleng cepat-cepat. "Tidak! Ini semua bukan hanya karena janji. Tapi ini semua kata hatiku. Aku lebih membutuhkan teman-temanku dan aku tidak suka membatalkan janji."
"Masalahnya—," kata Alice terpotong. Ia menghembuskan nafasnya pelan-pelan dan aku bisa membaca apa yang akan dikatakannya. "Jimmy tidak seperti Hans." Yeah, pikirku dalam hati. "Dan kau sangat menyayanginya," lanjut Alice padaku. "Ingat waktu-waktu pendekatanmu? Kau sudah berusaha keras dan aku tidak tega jika Jimmy sampai—"
Pintu tiba-tiba saja menjeblak terbuka. Ada anak perempuan masuk dengan sangat tidak sopan, bergaya angkuh, dan ingin sekali kami membencinya.
"Jimmy menunggumu di depan, Anna!" katanya. Mulutnya mencibir meski tak bersuara. Lalu ia melanjutkan dengan gaya yang sangat menyebalkan, "Geng yang mau roboh, ya?"
Untungnya aku dan Alice sama-sama sabar. Beda ceritanya bila Jennifer dan Rossalie yang ada di sini. Persahabatan kami dibenci oleh beberapa kalangan di sekolah ini. Padahal kami melakukan hal yang wajar. Kami tidak suka bergerombol di suatu tempat. Hanya saat makan di kantin dan di asrama. Persahabatan yang sangat erat memang memancing orang berpikiran buruk mengenai geng sekolah. Tapi kami bersungguh-sungguh itu bukan kami. Dan kami tidak peduli apa kata orang. Seperti kata pepatah, mengharap semua orang akan menyukaimu adalah tindakan yang sangat memalukan. Jadi, kami terima ada yang suka atau tidak suka pada kami.
Aku segera keluar dari asrama perempuan. Aku menemui Jimmy di luar sedang bersender pada tiang pualam. Aku menghampirinya.
"Kau mau pergi ke pantai sekarang?" tanyanya.
"Aku izin pada Alice dulu," kataku sambil mengeluarkan ponsel. Tapi Jimmy telah menyambarnya. Tampangnya murka.
"Izin? Izin terus?!" katanya marah. "Selalu teman-temanmu. Kenapa kau begitu takut pada teman-temanmu?!"
"Bukan takut," kataku mengoreksi. "Ini jam asrama. Aku tadi sedang mengobrol bersama Alice. Aku tidak bisa meninggalkan ia begitu saja tanpa izin dulu. Ia sekarang sendirian di kamar asrama."
"Cari alasan lain yang lebih logis!" kata Jimmy, membentakku. "Kau membawa teman-temanmu ke dalam segalanya. Aku pacarmu, ingat? Posisiku lebih penting dari mereka."
Aku memandang Jimmy dengan berani. Aku tidak ingat pernah mengatakan padanya bahwa ia lebih penting bagiku setelah kami berpacaran. Aku tidak pernah membuat perjanjian tentang itu.
"Tidak!" kataku kencang. Jimmy terdiam. Sejujurnya aku tak suka bertengkar di depan gedung asrama. Banyak yang hilir-mudik dan tentu saja memalukan saling melemparkan perkataan dingin di sana. "Mereka lebih penting."
"Aku mementingkanmu, Anna," kata Jimmy. "Lebih dari teman-temanku. Karena aku sayang padamu." Jujur, aku tak terlena dengan ucapannya yang itu.
"Dan kau tidak sayang pada teman-temanmu?" tanyaku. "Kalau aku, aku menyayangi mereka semua."
Jimmy geram. Aku takut melihat wajahnya tapi itu harus ku lakukan. Jimmy baru masuk ke dalam kehidupannya beberapa bulan lalu. Sedangkan sahabat-sahabatku, mereka sudah masuk ke dalam kehidupanku hampir dua tahun lamanya. Logiskah kalau perasaan sayangku pada Jimmy mengalahkan persahabatanku? Mengapa menjalani kenyataan tidak seperti yang tertuang dalam kumpulan cerita-cerita dalam buku. Sahabat begitu penting melebihi pacar. Tokoh-tokoh di dalamnya mengerti, mengapa tidak dengan Jimmy?
"Anna, aku ingin perhatian lebih," kata Jimmy. "Lebih besar dari sahabat-sahabatmu."
"Aku bisa memberikan perhatian," kataku jujur. "Tapi tidak melebihi mereka."
"Kita putus kalau begitu," kata Jimmy ringan.
***
Aku menangis di dalam kamar. Semua sahabatku mengerumuniku.
"Aku akan bicara padanya," kata Jennifer. "Akan aku suruh ia kembali padamu. Aku akan bilang bahwa minggu nanti rencana batal dan perlahan-lahan kau akan berubah. Jangan menangis lagi, Anna!"
"Iya, Anna," kata Rossalie. Rossalie mengusap pundakku tapi aku tidak mengangkat wajahku untuk memandangnya. "Persahabatan memang penting. Tapi tidak ada artinya jika sahabat tak mau mengerti sahabatnya yang lain. Kau butuh dia."
Aku menggeleng. "Aku bodoh," akuku. "Aku tidak mau mengorbankan persahabatanku."
Alice sekarang mendekatiku. "Kau bertindak terlalu membela," kata Alice. "Sebagai sahabatmu, kami harus melakukan hal yang harus kami lakukan. Jimmy hanya sedikit cemburu. Lambat laun ia akan mengerti."
"Jimmy bukan Hans!" kataku sedikit keras. "Jimmy mau di nomor satukan." Dalam hati aku berharap semoga teman-temanku tak salah menerka.
"Kalau begitu lakukanlah!" kata Jennifer. "Hanya di depan dia. Kami tahu kau tak akan pernah melupakan kami."
Aku menggeleng lagi. Bagaimana mungkin aku melakukan itu?!
"Kalau aku lakukan itu, aku mengorbankan kalian ke dalam sarang harimau," kataku tegas. "Aku tidak akan melakukannya!"
"Kami tidak bisa melihatmu menangis," kata Rossalie pelan.
"Aku—aku hanya sedih sementara," kataku mengakui. "Pemuda bukan hanya Jimmy. Aku yakin aku bisa menemui pemuda yang lebih baik. Lebih baik dari Hans juga, Alice!"
Alice tersenyum. "Semoga saja." Dan aku pun berharap begitu.
"Aku pergi dulu, terima kasih atas bantuannya," ucap Jimmy kepadaku. Aku tersenyum kepadanya lalu membiarkannya pergi dengan muka tak enak. Setelah kepergian Jimmy, Jennifer leluasa mendekatiku.
"Apa?" tanyaku.
"Sedang apa dia tadi?" tanya Jennifer tanpa basa-basi.
"Memintaku meminjamkan ia buku untuk tugas sekolahnya," jawabku cepat. Aku meneliti ekspresi Jennifer yang tidak sepenuhnya percaya. "Tak ada yang aneh, oke? Percaya saja."
"Bukan, bukan," kata Jennifer buru-buru. Jennifer semakin merapat ke arahku dan aku tahu ia membisikkan sesuatu kepadaku. "Anna, diantara kita berempat hanya Alice yang sudah membuktikan janji kita. Aku, ya, hanya tak mau kau—bagaimana sopannya, ya—melupakan sahabatmu setelah menjadi kekasih Jimmy nantinya."
Aku berpura-pura tidak mendengarnya. Aku berjalan menjauhi Jennifer secepatnya. Aku, tentu saja, tidak terima dituduh seperti itu. Memangnya aku pembohong?! Aku bisa membuktikan apa yang sudah ku ikrarkan dengan sangat baik. Dan ketika aku bilang bahwa persahabatan lebih penting dari pacar, tentu saja, itu nyata.
"Maaf, Anna," kata Jennifer sembari mengejarku. "Aku lupa bahwa kau sensitif mengenai hal itu."
Benar sekali, aku berkata dalam hati. Aku sangat sensitif terhadap tuduhan. Apalagi mengenai persahabatanku yang telah terbina selama hampir dua tahun lamanya.
Oh iya, namaku Evanna Alida. Aku sekolah di EF International School of English di Bournemouth. Aku mempunyai tiga orang sahabat. Mereka adalah Jennifer, Alice, dan Rossalie. Di antara kami bertiga, hanya Alice yang sudah punya pacar. Dan di dalam persahabatan kami, ada satu ikrar yang sangat kami jaga. Tempat pertama di hati kami selain Tuhan dan keluarga adalah sahabat. Persahabatan kami harus lebih agung dari hubungan kami terhadap pacar. Aku bisa paham mengapa Jennifer khawatir. Satu sekolah menganggap kami adalah geng kecil yang harus diberantas. Rumor jelek tentang pecahnya persahabatan kami diprediksi seorang anak perempuan kelas XI akan terjadi karena seorang cowok. Ya. Cowok. Alice bisa membuktikan kepada kami semua bahwa dia tidak begitu. Ia masih tetap bersama Hans dan tidak berubah sama sekali sikapnya kepada kami. Tapi, tiga orang lainnya termasuk aku, belum bisa membuktikannya karena kami belum punya pacar. Dan Jimmy adalah orang yang sangat aku sayang.
"Aku maafkan kali ini," kataku kepada Jennifer. Mungkin aku sudah membuang banyak waktu untuk berpikir dan Jennifer sekarang terlihat benar-benar menyesal. "Lain kali aku tak akan jamin."
"Sip," kata Jennifer seraya tersenyum. Aku balas senyumnya dengan sungguh-sungguh dan kami berdua pergi ke kantin sekolah untuk menemui dua orang sahabat kami.
Aku dan Jennifer melihat Alice dan Rossalie sudah duduk di salah satu meja kantin. Hans, pacar Alice terlihat duduk bersama teman-teman laki-lakinya di meja yang agak jauh. Alice pasti tidak akan kesulitan menjalani janji persahabatan kami. Hans sangat pengertian. Di beberapa kesempatan Hans tidak genit seperti cowok lainnya yang selalu menempel ke arah pacarnya.
"Lama sekali," kata Rossalie sinis. Aku hafal kepribadian Rossalie yang seperti itu. Rossalie malas menunggu orang. Sikapnya sama seperti Jennifer. Bedanya, Jennifer selalu berbicara tanpa berpikir, sedangkan Rossalie berkata pedas setelah berpikir. Aku dan Jennifer berpura-pura tidak mendengarnya dan langsung duduk di kursi masing-masing. Tiba-tiba saja ponselku berdering.
"Oh, siapa sekarang?!" tanya Rossalie kesal.
"Jimmy," kataku memberitahu. Aku memberi pandangan tak mengenakkan kepada semua sahabatku. Alice, beruntungnya, sangat mengerti aku.
"Pergilah!" katanya.
"Terima kasih, Alice!" kataku cepat-cepat dan langsung berlari keluar kantin sambil mengangkat telepon dari Jimmy.
***
Seminggu sudah berlalu sejak kejadian itu. Sekarang, aku adalah pacar Jimmy. Aku tidak dapat menggambarkan bagaimana bahagianya aku setelah menjadi pacarnya.
"Minggu ini kita ke Oceanarium, ya!" kata Alice. Kami semua setuju. Satu hari istirahat sangat penting bagi kami yang pelajar. Dan tentu saja, besok adalah hari khusus cewek. Hans atau Jimmy tidak boleh ikut.
Tiba-tiba saja bel masuk berdering. Kami berempat tidak sekelas, jadi kami langsung berpencar ke kelas masing-masing. Kelasku bersebelahan dengan kelas Jimmy. Ketika aku sudah berada di radius dua meter dari kelas, aku melihat Jimmy didepan kelasku. Ia sedang menungguku.
"Minggu kau ada acara?" tanyanya.
"Ada," jawabku riang. "Hari khusus cewek, kau tahu. Kami akan ke Oceanarium berempat. Mungkin setelah itu kami akan mampir ke Opera House atau Alcatraz. Senang sekali. Sudah lama tidak berkumpul jadi—" Aku berhenti berbicara ketika melihat Jimmy tak senang.
"Besok aku mau mengajakmu ikut outdoor dengan teman-temanku," katanya memberitahuku. "Kau bisa pilih ski air atau berkuda. Dua-duanya kesukaanmu, kan?"
Aku diam sesaat. Aku tidak mungkin membatalkan hari khusus cewek bersama para sahabatku. Lagipula, dua hari yang lalu aku baru saja pergi bersama Jimmy ke kota dengan kereta api. Jadi, sekarang adalah waktu untuk sahabat-sahabatku.
"Aku tidak bisa," jawabku pelan. Aku sangat berharap Jimmy mau mengerti. Ternyata untuk menolak ajakannya cukup membuatku gemetar. Aku takut ia kecewa. "Kau sudah tahu aku punya acara dengan teman-temanku, kan? Aku tak bisa bersamamu nanti."
"Lalu bagaimana denganku?" tuntutnya. "Aku sudah terlanjur bilang kepada teman-temanku."
"Katakan lagi yang sejujurnya," kataku pelan. "Aku yakin kau bisa. Nah, sekarang aku ke kelas dulu." Aku masuk ke dalam kelas dan berpura-pura tak melihat wajahnya. Sekarang, yang aku takutkan adalah—aku tidak bisa seperti Alice.
***
Pulang sekolah terasa membosankan. Jimmy marah padaku. Ia menghindariku ketika jam pulang sekolah tiba. Aku tidak tahu apa salahku. Kalau Jimmy lebih dulu memintaku, aku pasti mau. Masalahnya adalah aku orang yang konsekuen. Aku tidak akan membatalkan rencanaku bersama teman-teman. Mereka adalah tempat pertama bagiku. Lebih utama dari Jimmy.
"Kau bertengkar dengan Jimmy?" tanya Alice. Aku dan dia berada di dalam asrama perempuan. Alice, aku, Jennifer, dan Rossalie tidur satu kamar di asrama. Tapi Jennifer dan Rossalie sedang keluar.
"Ya," kataku pelan. Beruntungnya aku karena Jennifer dan Rossalie tidak ada. Kalau ada, mereka pasti mencecarku. Bukannya tidak suka, tapi pertengkaran seperti ini akan membuat mereka menarik kesimpulan terlalu jauh. Misalnya seperti aku berada dalam posisi bahaya yang mungkin saja akan melupakan persahabatan hanya karena Jimmy. Tentu saja sebenarnya tidak. Tapi aku menerka, opsi kedua yang mereka telurkan adalah Jimmy orang yang menyebalkan, tidak seperti Hans, dan termasuk cowok posesif. Nah, untuk opsi kedua, aku ragu untuk mengatakan tidak!
"Kalau begitu ikuti saja maunya," kata Alice memberi saran padaku. "Masih ada hari lain. Kau boleh izin dari acara minggu nanti."
Aku menggeleng cepat-cepat. "Tidak! Ini semua bukan hanya karena janji. Tapi ini semua kata hatiku. Aku lebih membutuhkan teman-temanku dan aku tidak suka membatalkan janji."
"Masalahnya—," kata Alice terpotong. Ia menghembuskan nafasnya pelan-pelan dan aku bisa membaca apa yang akan dikatakannya. "Jimmy tidak seperti Hans." Yeah, pikirku dalam hati. "Dan kau sangat menyayanginya," lanjut Alice padaku. "Ingat waktu-waktu pendekatanmu? Kau sudah berusaha keras dan aku tidak tega jika Jimmy sampai—"
Pintu tiba-tiba saja menjeblak terbuka. Ada anak perempuan masuk dengan sangat tidak sopan, bergaya angkuh, dan ingin sekali kami membencinya.
"Jimmy menunggumu di depan, Anna!" katanya. Mulutnya mencibir meski tak bersuara. Lalu ia melanjutkan dengan gaya yang sangat menyebalkan, "Geng yang mau roboh, ya?"
Untungnya aku dan Alice sama-sama sabar. Beda ceritanya bila Jennifer dan Rossalie yang ada di sini. Persahabatan kami dibenci oleh beberapa kalangan di sekolah ini. Padahal kami melakukan hal yang wajar. Kami tidak suka bergerombol di suatu tempat. Hanya saat makan di kantin dan di asrama. Persahabatan yang sangat erat memang memancing orang berpikiran buruk mengenai geng sekolah. Tapi kami bersungguh-sungguh itu bukan kami. Dan kami tidak peduli apa kata orang. Seperti kata pepatah, mengharap semua orang akan menyukaimu adalah tindakan yang sangat memalukan. Jadi, kami terima ada yang suka atau tidak suka pada kami.
Aku segera keluar dari asrama perempuan. Aku menemui Jimmy di luar sedang bersender pada tiang pualam. Aku menghampirinya.
"Kau mau pergi ke pantai sekarang?" tanyanya.
"Aku izin pada Alice dulu," kataku sambil mengeluarkan ponsel. Tapi Jimmy telah menyambarnya. Tampangnya murka.
"Izin? Izin terus?!" katanya marah. "Selalu teman-temanmu. Kenapa kau begitu takut pada teman-temanmu?!"
"Bukan takut," kataku mengoreksi. "Ini jam asrama. Aku tadi sedang mengobrol bersama Alice. Aku tidak bisa meninggalkan ia begitu saja tanpa izin dulu. Ia sekarang sendirian di kamar asrama."
"Cari alasan lain yang lebih logis!" kata Jimmy, membentakku. "Kau membawa teman-temanmu ke dalam segalanya. Aku pacarmu, ingat? Posisiku lebih penting dari mereka."
Aku memandang Jimmy dengan berani. Aku tidak ingat pernah mengatakan padanya bahwa ia lebih penting bagiku setelah kami berpacaran. Aku tidak pernah membuat perjanjian tentang itu.
"Tidak!" kataku kencang. Jimmy terdiam. Sejujurnya aku tak suka bertengkar di depan gedung asrama. Banyak yang hilir-mudik dan tentu saja memalukan saling melemparkan perkataan dingin di sana. "Mereka lebih penting."
"Aku mementingkanmu, Anna," kata Jimmy. "Lebih dari teman-temanku. Karena aku sayang padamu." Jujur, aku tak terlena dengan ucapannya yang itu.
"Dan kau tidak sayang pada teman-temanmu?" tanyaku. "Kalau aku, aku menyayangi mereka semua."
Jimmy geram. Aku takut melihat wajahnya tapi itu harus ku lakukan. Jimmy baru masuk ke dalam kehidupannya beberapa bulan lalu. Sedangkan sahabat-sahabatku, mereka sudah masuk ke dalam kehidupanku hampir dua tahun lamanya. Logiskah kalau perasaan sayangku pada Jimmy mengalahkan persahabatanku? Mengapa menjalani kenyataan tidak seperti yang tertuang dalam kumpulan cerita-cerita dalam buku. Sahabat begitu penting melebihi pacar. Tokoh-tokoh di dalamnya mengerti, mengapa tidak dengan Jimmy?
"Anna, aku ingin perhatian lebih," kata Jimmy. "Lebih besar dari sahabat-sahabatmu."
"Aku bisa memberikan perhatian," kataku jujur. "Tapi tidak melebihi mereka."
"Kita putus kalau begitu," kata Jimmy ringan.
***
Aku menangis di dalam kamar. Semua sahabatku mengerumuniku.
"Aku akan bicara padanya," kata Jennifer. "Akan aku suruh ia kembali padamu. Aku akan bilang bahwa minggu nanti rencana batal dan perlahan-lahan kau akan berubah. Jangan menangis lagi, Anna!"
"Iya, Anna," kata Rossalie. Rossalie mengusap pundakku tapi aku tidak mengangkat wajahku untuk memandangnya. "Persahabatan memang penting. Tapi tidak ada artinya jika sahabat tak mau mengerti sahabatnya yang lain. Kau butuh dia."
Aku menggeleng. "Aku bodoh," akuku. "Aku tidak mau mengorbankan persahabatanku."
Alice sekarang mendekatiku. "Kau bertindak terlalu membela," kata Alice. "Sebagai sahabatmu, kami harus melakukan hal yang harus kami lakukan. Jimmy hanya sedikit cemburu. Lambat laun ia akan mengerti."
"Jimmy bukan Hans!" kataku sedikit keras. "Jimmy mau di nomor satukan." Dalam hati aku berharap semoga teman-temanku tak salah menerka.
"Kalau begitu lakukanlah!" kata Jennifer. "Hanya di depan dia. Kami tahu kau tak akan pernah melupakan kami."
Aku menggeleng lagi. Bagaimana mungkin aku melakukan itu?!
"Kalau aku lakukan itu, aku mengorbankan kalian ke dalam sarang harimau," kataku tegas. "Aku tidak akan melakukannya!"
"Kami tidak bisa melihatmu menangis," kata Rossalie pelan.
"Aku—aku hanya sedih sementara," kataku mengakui. "Pemuda bukan hanya Jimmy. Aku yakin aku bisa menemui pemuda yang lebih baik. Lebih baik dari Hans juga, Alice!"
Alice tersenyum. "Semoga saja." Dan aku pun berharap begitu.