I Do Too

karya: imutt

Ketika orang bilang cinta bisa datang dan pergi tanpa di undang, aku tidak percaya. Mengapa? Karena sampai saat ini, aku tidak mengundang cinta dan cinta itu sendiri belum juga datang. Ketika orang ribut mendefinisikan cinta dengan mewah dan puitis, aku tidak. Mengapa? Karena cinta hanyalah sebuah kata. Dan rasa yang timbul olehnya—aku tidak tahu, tapi, hanya berhubungan dengan perasaan berdebar-debar dan patah hati.



Aku duduk meneliti pemandangan di kelasku. Sungguh konyol melihatnya. Usiaku yang masih terbilang kecil (masih duduk di bangku SMP) dan teman-temanku yang baru merasakan cinta pertamanya (atau cinta mereka yang sudah kesekian kalinya). Apakah cinta bisa datang dan pergi dengan begitu cepat? Jika bisa, mengapa tidak terdengar luar biasa? Karena para pujangga biasanya mengagungkan cinta begitu besar dan jika cinta bisa datang dan pergi dengan cepat, aku berpendapat cinta tidak istimewa. Tidak beda dengan suka—atau malah lebih baik mendengar orang mengatakan 'aku suka kamu' karena hal itu tidak membutuhkan banyak tanggung jawab dibandingkan 'aku cinta kamu.' Dan semua pandangan ini mulai ku pahami ketika aku mulai merasa jatuh cinta.

"Wah, pacarmu Frank Crawford, Alice?"

Aku melihat Alice hanya nyengir. Dan aku menahan keinginan untuk tertawa. Zaman aku hidup saat ini benar-benar norak. Walaupun aku belum tahu apa itu cinta, tapi aku tahu apa arti pacar. Pacar adalah istilah sepasang insan yang sudah melalui tahap pernyataan. Lalu gelar pacar baru bisa diberikan setelah adanya penerimaan dari satu pihak yang dinyatakan. Namun, tidak begitu di sekolahku. Pacar adalah orang yang mereka suka (untuk beberapa kalangan). Dan dengan bangga, mereka menyebut gebetan mereka sebagai pacar.

Fillya Fheil menyenggolku. Ia memberikan kedipan mata penuh isyarat kepadaku lalu tersenyum bersamaku. Frank Crawford adalah orang yang juga ku sukai. Di sekolahku ada banyak siswi yang menyukainya. Dan Frank Crawford selalu diberi gelar pacar oleh semua yang menyukainya kecuali aku, karena aku tidak sebodoh itu.

"Boleh aku pinjam buku catatanmu, Fillya?" Ada seorang cowok yang menghampiri kami berdua. Namanya Vince Danner. Ia seperti Frank Crawford, populer di SMP kami dan lebih tinggi tingkatannya dibandingkan Frank. Orangnya biasa saja menurutku, tidak berkharisma seperti Frank, tidak cool, tidak pintar, tidak kaya (walaupun aku tidak matre tapi hanya untuk perbandingan dari banyak yang menyukainya), dan masih banyak lagi ke-tidak-annya.

"Oh, ya," kata Fillya sambil menyerahkan bukunya. Vince menggumamkan kata 'terima kasih' dengan suaranya yang tidak ada istimewanya (tapi dinilai lembut dan menggugah banyak cewek sekolah). Sekejap sebelum ia pergi, ia memandangku. Pandangannya aneh. Karena aku tidak suka dengan matanya yang tidak setajam Frank, aku pikir pandangannya kepadaku adalah pandangan biasa. Aku memang tidak akrab dengannya. Tidak kenal, bahkan, kalau tidak sekelas.

Jam istirahat datang. Sebenarnya tidak beda dengan jam belajar. SMP?! Hah?! SMP-ku tidak tertib. Suasana jam belajar hampir sama (walaupun tidak separah) jam istirahat. Dan saat ini—

"OH MY GOD!!!"

"Cinta Patricia O'bien pupus," bisik Fillya kepadaku. Arina Leax ikut memandangku seperti halnya Fillya seakan itu berita yang penting buatku. "Vince Danner menolaknya."

"WHAT?!" Aku berteriak. Teman-teman sekelas memandang kelompok kecilku lalu aku tersenyum melas dan mereka kembali pada gosipnya masing-masing. "Dia pikir dia keren, hah?" tambahku pelan. "Patricia cantik walau anggota geng seperti itu. Tapi tidak pantas Vince sebarkan berita penolakannya."

Fillya dan Arina mengangkat bahu secara berbarengan. Mungkin pendapatku sangat aneh. Sependengaranku, banyak orang yang menyatakan prihatin terhadap Patricia tetapi menyatakan tepat kepada keputusan Vince Danner. Di mataku, ia cowok genit. Selalu tebar pesona setiap ia melangkah. Senyumnya selalu diobral, beda sekali dengan Frank Crawford yang dingin tetapi melelehkan.

"Sssst, diam!"

Aku menggerutu dalam diam. Apa istimewanya dia? Hanya karena Vince Danner datang, cewek-cewek kelasku diam. Yah, memang, sih, kami sedang menggosipkan dirinya. Tetapi terdengar juga tidak apa-apa. Toh hanya aku saja yang menyatakan pendapat yang lain bahwa Vince Danner tidak bersyukur!

"Kau les, kan, Arina?"

Aku memalingkan wajah. Begitu datang, Vince Danner langsung menghampiri kelompok kecilku. Tadi Fillya, sekarang Arina. Dan topik yang ditanyakannya adalah les. Les! Seberapa bancikah dia? Apakah dia tidak punya teman cowok yang lebih pantas untuk percakapannya? Dan mengapa kepada cewek, ia membicarakan masalah yang sia-sia.

"Ya, kalau Fillya dan Annie ikut," jawab Arina enteng. Vince Danner beralih memandang Fillya setelah melewati pandangan dariku dengan sungkan.

"Kau, Fillya?" tanya Vince pelan. Dan entah mengapa wajahnya merona. Oh, aku tahu! Ia menyukai Fillya! Kasihan sekali teman-temanku yang lain.

"Yep!" jawab Fillya cepat. "Oh, ya, bukuku tadi sudah selesai?"

"Oh, nanti ku kembalikan," kata Vince, terlihat gugup. Aku meneliti dengan cermat. Fillya adalah gadis pintar. Wajar jika Vince menyukainya. "Oh, ya, Annie, kemarin kau sakit, kan? Makanya, jangan lupa makan."

Fillya dan Arina tertawa. Aku melihat Vince tersenyum kepadaku. Senyum yang selalu diobralnya, mungkin.

"Hahaha," kataku garing lalu pergi meninggalkannya.

***

"Bisa kau bantu aku, Annie?" tanya Fillya. Ia datang membawa data anak-anak sekelas dan ia baru saja diperintahkan untuk menyalinnya ke dalam beberapa buku guru. Aku mengangguk dan buru-buru mengeluarkan pena untuk ikut menyalinnya.

"Ah, sial, Fillya!" gerutuku. Pulpenku habis. Dan aku lupa membeli yang baru. Aku baru saja akan meminjam pulpen dari Arina ketika Vince menawarkan bantuannya padaku. "Apa?"

"Pulpen," katanya dengan tangan tersodor ke arahku. Pulpennya, digenggamnya dengan erat dan penuh paksaan pada keteraturan nafasnya. Aku mempertimbangkan, tetapi terlalu nyata kebencianku untuk menolaknya. Jadi, aku terima saja tawarannya. Toh aku tidak meminta. Dia sendiri yang menawarkan dan mungkin dia tidak seburuk yang ku pikir soal tebar pesonanya.

Aku meraihnya dengan ucapan 'thanks' seadanya. Fillya menatapku dengan teliti. Hanya dengan sekilas matanya, aku bisa tahu Fillya menegurku. Lalu aku alihkan saja topik tentang Frank Crawford yang duduk jauh dari kami berdua. Tapi Vince mengupingnya.

"Kau suka Frank?" tanya Vince padaku, terlihat tak suka.

"Biasa saja," jawabku dusta, berpura-pura cuek. Vince memandangku penuh tanya, aku bisa tahu dengan kerlingan seadanya ke arahnya. Ketika aku terang-terangan memandangnya, ia alihkan pandangannya. "Bisa kau berhenti ikut campur?" tanyaku. Wajahnya memerah karena malu. Aku terlalu sebal untuk kasihan padanya, jadi— "Well, kau datang sesering mungkin. Jujur, itu mengganggu. Dan, oh—ku kembalikan saja ini." Aku mengembalikan pulpennya tanpa rasa kasihan. "Fillya, maaf, aku tidak mood untuk membantu." Dan aku pergi.

***

Aku termenung memandang sekeliling. Serius sekali mereka, pikirku. Mencatat catatan di papan tulis dengan giatnya. Aku terus meneliti satu demi satu anak-anak sekelas. Dan anehnya, Vince mengalihkan pandangannya dariku dengan cepat ketika pandanganku jatuh ke arahnya. Aku mengacuhkannya dengan sigap.

"Fillya, kau bisa lihat Vince di belakang?" bisikku kepada teman sebangkuku. Fillya mengangguk. Aku menunggunya memberikan laporan padaku saat ia meneliti.

"Sudah ku duga," ungkapnya.

"Apa?" tanyaku heran.

"Vince menyukaimu," katanya. "Dia memandang ke sini."

Aku tertawa. "Kalau begitu dugaanmu salah karena dia menyukaimu," kataku memperbaiki. "Hahaha, meminjam buku catatanmu, menanyai apakah kau datang les, dan segala pertanyaannya padamu yang tidak penting. Ia ingin dekat denganmu."

"Ataukah kau?" potong Fillya, menebak. "Dengar, mungkin itu alasannya untuk bisa dekat denganmu?"

"Oh ya?" ujarku keras kepala. Aku hentikan obrolan tak penting tentang Vince dan memutuskan untuk mencatat tulisan di papan tulis. Fillya mengikuti gerakanku walau masih terlihat ingin mendiskusikannya lebih jauh. Aku tidak suka Vince. Entah mengapa, aku membencinya.

Tetapi tiba-tiba saja aku merasakan sesuatu yang aneh. Hatiku berdebar-debar tak keruan. Sedikit sesak dan menggelitik. Aku tidak tahu itu apa. Dan entah mengapa, aku malu mengakuinya—aku menoleh ke arah Vince yang sedang memandangku. Aku terdiam. Terdiam bodoh. Dan sejak saat itu, aku merasa aku tidak lagi membencinya. Tetapi membenci diriku yang menyukai dia.

Beberapa hari telah lewat. Aku merasa aku bukan lagi menjadi Annie Stanton yang hebat sejak saat itu. Aku merasa aku berganti haluan menyukai Vince Danner sekarang. Dan aku merasa menjadi wanita murahan yang mencuri pandang ke arahnya meski siapapun tak tahu dan tak akan pernah tahu. Dengan mudahnya aku lupakan Frank Crawford. Mungkinkah ini karma?

"Aku tunggu kau diluar, Annie," kata Fillya. Aku mengangguk ke arahnya. Fillya pun keluar kelas bersama Arina.

Aku berusaha membereskan peralatan sekolahku dengan lebih cepat. Hari itu aku dan sebagian teman sekelas baru selesai les. Dan seperti biasa, kami akan pulang bersama-sama. Aku, Fillya, dan Arina.

"Selesai," gumamku kepada diri sendiri. Aku mengalungkan tas selempanganku dan berjalan pelan keluar kelas. Aku tersenyum kepada Fillya dan Arina dengan arti 'ayo kita pulang' begitu tiba di luar kelas. Aku pura-pura acuh melihat rombongan Vince Danner masih di sekolah. Ia dan teman-temannya terlihat seperti sengaja menunggu kami tapi itu tidak mungkin. Ingat! Aku menyukai Vince Danner dan itu artinya—pandanganku bisa saja dan kemungkinan besarnya SALAH mengenai Vince Danner!

"Baru pulang, Frank?" tanyaku begitu mendekati rombongan Vince Danner. Frank mengangguk dan aku berjalan di dekatnya. Aku, konyolnya, ingin mengintip reaksi Vince. Padahal Vince belum tentu menyukaiku.

"Semangat sekali kau," kata Fillya mengomentariku. Aku hanya tersenyum simpul dan berlari kecil di depannya. Aku tiba di pinggir jalan besar lebih dulu. Kosong sekali. Hanya terkadang angkutan umum berlewatan di depan mataku.

"Ayo, cepat, Fillya! Arina!" teriakku sambil menginjakkan kaki di jalan besar. Aku melangkah dengan langkah normal, tidak cepat dan tidak lambat. Seingatku, jalanan kosong melompong. Dan seingatku, cowok yang berada paling dekat denganku saat itu adalah Frank Crawford. Tapi tiba-tiba saja ada sosok lain yang memelukku dengan gerakan kilat. Dan aku berputar menyingkir dari jalan besar dengan shock yang besar. Aku mendengar jantung Vince Danner berdetak dengan cepat. Dan aku bisa merasakan nafasnya terhembus tak keruan. Ia masih memegangiku dengan sebelah tangannya. Dan aku terjatuh pelan ke tanah.

"Kau tak apa-apa?" tanya Vince padaku. Aku mengangguk dengan otak kosong. Aku tidak dengar banyak teman-temanku berlarian menghampiri kami tapi setelah aku benar-benar normal lagi, aku melihat Fillya dan Arina di dekatku.

"Ceroboh sekali kau, Annie!" kata Frank. Meski begitu, aku melihatnya khawatir. Dan aku tidak senang.

Aku melirik Vince. Ia duduk di sebelah Frank di angkutan umum. Aku tidak bisa tenang menanggapi pandangan matanya yang melelehkan. Baru sekarang aku menyadarinya. Aku bisa saja jatuh cinta kepada siapa saja. Tidak terkecuali Vince Danner yang semula aku benci.

Aku ingat pandangan Vince saat aku sebut ia sedang tebar pesona. Aku yakin pandangannya sekarang kepadaku hanya beda sedikit dari yang dulu. Tapi aku tidak peduli. Seberapa jeleknya pandangannya, seberapa kagumnya aku pada pandangan Frank Crawford, nyatanya aku meleleh karena Vince. Aku berdebar-debar dan jatuh cinta.

Aku sudah sampai di rumahku. Tidak teringat kegiatan istimewa yang ku kerjakan begitu sampai di rumah selain mengingat-ingat masalah tadi. Vince menolongku. Dan jikalau ia pun tak pergi menolongku, mungkin aku masih memikirkannya di rumah sakit (aku berhasil selamat karena Vince).

Tiba-tiba saja handphone-ku berdering. Aku terlonjak kaget sambil ku raih handphone-ku. Aku melihat nomor pemanggil tapi aku tidak tahu itu nomor siapa. Sejujurnya, aku tidak pernah suka mengangkat telepon dari orang yang tidak ada nomornya di kontak handphone-ku. Tapi tak ada salahnya aku mengangkat.

"Annie?"

"Ya," kataku pelan. Mulai lagi, gumamku dalam hati. Hati ini berdebar-debar padahal aku belum tahu siapa yang menelepon.

"Aku Vince."

Nah, sekarang baru aku menerima debaran hatiku. Karena ini Vince. Segala alasan untuknya.

"Maaf jika ini tiba-tiba," kata Vince. Aku hanya diam membiarkan dia bicara sepuasnya. "Tapi ada yang mau ku akui."

"Apa?" tanyaku seperti menantang. Inilah karakter luarku. Dulu ini memang karakter asliku karena dulu aku membenci Vince. Tapi sekarang ini menjadi karakter luar begitu aku menyadari perasaanku pada Vince.

"Aku menyukaimu," kata Vince pelan.

Waktu seakan berhenti. Aku membayangkan Vince berdiri di hadapanku.

"Maukah kau menjadi pacarku?" tanyanya dengan suara yang sangat indah. Telingaku mungkin tuli tapi mungkin juga tidak. Aku bersumpah aku mendengar suara yang sangat indah. "Aku sangat menyukaimu hingga menyusahkanmu," tambah Vince menyadarkanku. "Aku sadar aku salah karena memendamnya terlalu lama. Meski terdengar tak pantas, tapi aku ingin kau menjadi kekasihku, Annie Stanton!"

Aku berpikir keras untuk menjawabnya. Ia membiarkan aku diam selama yang aku mau. Apakah ia benar-benar serius? Atau sekarang hanya khayalanku?

"Apa kau yakin tentang perasaanmu padaku?" ujarku yang akhirnya berbicara.

"Ya," katanya tegas. "Sangat suka."

"Maaf, Vince," kataku pelan. "Perasaan suka tidaklah cukup untuk kita akhirnya pacaran. Suka bukanlah perasaan istimewa sehingga kau harus minta maaf dan memintaku menjadi pacarmu."

Vince terdiam. Aku tersenyum murung di tempatku.

"I love you, Annie!" kata Vince.

Dan aku tersenyum bahagia. "I do too, Vince!"
0 Responses

Lagu