The Day you went away

karya : imutt

Namaku Emily Gregorint. Aku tinggal di sebuah perumahan besar di London. Tidak cukup besar, memang. Tapi setidaknya sekolahku cukup dikenal di daerah sekitar London. Aku telah mendiami sekolah itu selama hampir satu tahun setengah. Tidak banyak pengalaman yang berarti yang ku dapat di sana. Well, aku bukanlah anak populer yang tergabung dalam beberapa geng besar yang kuat. Itu alasan yang cukup kuat mengapa aku tidak mendapatkan kesan yang hebat di sana..



Setiap harinya terasa begitu sulit bagiku. Aku anak yang pendiam dan tidak menonjol. Meski sering kali aku berusaha untuk menampakkan kehadiranku di tengah-tengah teman sekelasku, tapi mungkin sudah takdir. Aku tidak pernah membayangkan mereka mengingat nama lengkapku dengan benar. Apalagi untuk menjadi bagian pertemanan mereka yang benar-benar nyata.

Ada seorang pemuda populer di sana. Atrit Wilson. Ia anak orang kaya dan ikut dalam organisasi intra sekolah. Ia menolak pencalonan dirinya sebagai ketua OSIS. Ya, itu memang bukan urusanku. Tapi ketika aku mengatakan kepadamu bahwa ia naksir aku—itu layak untuk di perbincangkan, mungkin.

Berpacaran dengan Atrit tidak membuatku bebas dari semua hal. Harapanku tentang penerimaan kedudukanku di kelas justru semakin tak nampak. Mungkin anak-anak menganggap Atrit sedang menjalin kasih dengan hantu. Kehadiranku yang sangat tidak menonjol membuat Atrit tetap dikejar-kejar banyak wanita.

“Kau akan ikut?” tanyanya. Aku menoleh ke arahnya. Ia menyunggingkan senyumnya yang sangat manis. Ugh, betapa tampannya dia! Tapi sangat tidak sebanding denganku.

“Menurutmu aku harus ikut?” tanyaku. Tidak ada perkataan lain yang terlintas di otakku menghadapi pertanyaannya.

“Tentu saja,” jawabnya penuh semangat. Aku berusaha menenangkan diri. Aku tak ingin wajah pesimisku disadari olehnya. Namun aku tak pernah berhasil menyembunyikan apapun darinya. Apapun. “Bukan masalah kau tidak menonjol,” katanya sungguh-sungguh. “Masalahnya sekarang, aku hanya ingin kau mengikuti kegiatan yang kau inginkan. Apa yang salah dengan pertukaran pelajar? Ku rasa kau akan mendapatkan banyak pengalaman berarti. Percayalah!”

Aku tidak sanggup melihat wajah polosnya yang tampan. Ia sangat mempercayaiku. Ia selalu mendorong semangat untukku. Untuk seorang gadis yang tidak berarti. Yah, aku memang terlalu kejam menilai diriku sendiri. Tapi, cobalah masuk ke pikiran para lelaki normal! Tak akan ada yang menganggapku menarik. Walaupun mereka memang tak pernah mengatakan aku gadis yang jelek atau tolol.

“Aku sudah mengisi formulirnya,” jelasku singkat. Atrit menyunggingkan senyumnya kembali. Ia menggenggam tanganku yang berkeringat dingin hanya berduaan dengannya di taman sekolah.

“Kau pasti terpilih,” yakinnya. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin keluar dari ruang lingkup sekolah yang membosankan. Aku memang tidak mau meninggalkan Atrit. Aku takut jikalau ia mulai waras kembali lalu meninggalkan aku. Namun, aku butuh sesuatu. Sesuatu yang bisa ku dapatkan sendiri di luar sana.

Hari telah berganti hari. Aku sudah melupakan masalah pertukaran pelajar sampai aku lihat papan pengumumannya di mading sekolah. Well, sekolahku memang mempunyai tabloid sekolah. Tapi ekstrakurikuler yang membawahinya kurang berjalan dengan baik sehingga madding adalah satu-satunya tempat komunikasi sekolah dan pelajar yang paling ampuh.

“Tidak mungkin!” Aku menggelengkan kepala. Namaku tertera di sana. Aku dan dua anak lainnya telah terpilih untuk mengikuti kegiatan pertukaran pelajar. Memang, sih, bukan pertukaran ke luar negeri. Tapi—siapa peduli? Aku bebas dari kehidupan sekolah ini!

Ayahku telah menunggu kehadiranku sepulang sekolah. Aku menimbang-nimbang sesaat. Apakah ia akan senang dengan berita yang ku bawa? Aku tidak tahu sampai mendengarnya langsung.

“Luar biasa, Emily!” gumam ayahku. Itu tanggapan yang sangat berlebihan. “Kapan kau akan segera bersekolah di sana?”

“Em, ku rasa mulai lusa,” kataku jujur. Matanya membelalak dengan sangat lebar.

“Aku wajib mempersiapkan segala sesuatunya untukmu, Emily!” katanya penuh semangat. Aku mencoba meyakinkannya bahwa aku cukup mandiri untuk mengatur semuanya sendirian. Tapi, adakah orang yang bisa menghentikan tindakan ayahku yang amat menggebu-gebu? Ku rasa tidak.

***

“Namaku Emily Gregorint.”

Suasana yang sangat kaku. Akulah murid yang berbeda dari murid-murid di sekolah tempatku bertukar pelajar. Seragamku sangat mencolok. Paling berbeda dari sekian banyak murid di sana. Harusnya aku mengartikannya sebagai kebanggaan, tapi entah mengapa aku justru malu. Sangat malu.

Aku duduk di sebelah Ash Vebrice. Pemuda pendiam dengan wajah yang sangat tampan. Tidak, aku keliru. Dia bukan pemuda pendiam! Dia pemurung! Pandangannya yang selalu tertunduk mengartikan semuanya di mataku. Setidaknya aku yang sangat kuper dan tidak menonjol ini mungkin lebih baik darinya.

Saat istirahat tiba, aku tidak memutuskan untuk makan di kantin sekolah. Bisa-bisa aku menjadi sorotan publik selama aku melangkah. Dan aku tidak suka itu! Entah mengapa, rasanya anak-anak sekelas di sekolah ini sangat kompak, kecuali Ash Vebrice ini. Semuanya pergi di jam istirahat. Meninggalkan aku hanya berdua dengan Ash Vebrice.

“Kau tidak ke kantin?” Pertanyaan tolol itu keluar secara spontan dari mulutku. Anehnya, ia tersenyum kaku padaku. Yah, lebih baik daripada dicaci-maki, gumamku dalam hati.

“Aku-biasa-sendiri-selama-kumat,” katanya terbata-bata. Aku sampai tidak sadar telah menyerupai cicak yang hendak melahap nyamuk saat mendengarnya dengan sangat seksama.

“Kumat?” ulangku heran. “Em—boleh ku tahu kumat apa?”

Aku tidak suka membahas topik pribadi ini. Aku baru saja bergabung dengan sekolah ini. Dan aku terlalu ikut campur dengan mengurusi urusan teman sebelahku, Ash Vebrice.

“Pusing-kepala-berlebihan,” katanya menjawabku. Aku tak yakin. Tapi itu menggambarkan situasi yang buruk bagiku.

“Kau mau ku panggilkan perawat sekolah?” tanyaku mengkhawatirkannya.

“Mereka cukup repot selama ini karenaku,” katanya dengan cara bicara yang lebih baik meski tak terlalu meyakinkan. “Lupakan aku! Selamat datang di sekolah ini, Ms. Gregorint!”

Wow! gumamku. Mungkin dia adalah pemuda setelah Atrit yang hafal nama lengkapku dengan baik. Aku tidak tahu mengapa hatiku sangat bahagia mendengarnya. Padahal wajar saja, mungkin. Ia tidak mengenalku di sekolahku yang itu.

“Emily saja,” kataku.

“Dan kau boleh memanggilku Ash saja,” katanya. Kami tersenyum penuh arti. Dan selanjutnya, kami terbawa suasana. Obrolan terus bergulir dengan sendirinya. Betapa menyenangkannya berada di dekatnya! Orang yang sangat mengagumkan. Di satu sisi, aku suka gayanya. Hampir semuanya, mungkin. Di satu sisi, aku merasa aku menyukainya karena ada kesamaan antara aku dan dia. Kami sama-sama pendiam—atau pemurung. Mau tidak mau aku mengakui yang satu itu.

Aku mengecek handphone-ku. Ada pesan singkat masuk dari Atrit. Aku segera membalasnya tanpa pikir panjang. Aku menunda obrolan panjangku dengan Ash sebelum beralih lagi padanya.

Sehari. Dua hari. Tiga hari. Seminggu. Sudah seminggu aku berada di sekolah itu. Waktuku tinggal tiga bulan kurang. Aku tak dapat bayangkan akan meninggalkan teman baruku dengan waktu yang sangat cepat.

“Tugas rumah kita sangat keterlaluan,” kataku mengeluh padanya. Dia hanya tersenyum kaku. Aku sering kali bertanya dalam hati. Senyum kakunya terlihat begitu aneh. Aku tidak menganggapnya sedang menertawaiku. Justru senyumnya terlihat seakan-akan di balik senyumnya di selingi rintihan kesakitan yang tidak pernah ia ungkapkan padaku atau pada siapapun.

“Ada apa?” tanyanya heran. Aku tahu ia mencurigai aku yang diam memperhatikannya.

“Apa kau—baik-baik saja?” tanyaku.

“Aku tak pernah sesehat ini,” akunya penuh keraguan. Suaranya terdengar penuh dusta. Tapi itu tidak membuatku membencinya. Justru semakin menarik aku untuk tetap bersamanya. Aneh. Sangat aneh.

“Bisa buktikan ucapanmu?” pintaku.

“Apa kau bisa yakin jika kita kencan di taman pusat kota seraya mengerjakan essai yang menumpuk?” tanyanya menawariku. Aku tersenyumku. Senyumku adalah jawabannya. Aku mau. Kencan tidak harus selalu berpacaran, kan? Setidaknya aku dan dia tidak begitu.

Taman pusat kota tidak begitu ramai. Sungguh asyik menyaksikan pemandangan yang begitu mempesona. Bunga-bunga yang bermekaran itu adalah milikku. Aku dan dia berada di taman yang sepi. Seakan-akan taman itu telah dipesan olehnya hanya untukku dan dia. Sungguh menyenangkan!

“Kita tak punya waktu bermain-main,” katanya mengingatkanku. “Essai-essai ini harus dikumpulkan lusa, kau ingat? Kita harus selesai sekarang.”

Aku tersenyum masam. Ia tertawa melihat reaksiku. Aku baru pertama kali melihatnya seperti itu. Entah mengapa, aku sangat senang melihatnya begitu, Aku seakan melihat cermin di mana aku bisa menatap wajahku yang biasanya murung kini tertawa. Tapi aku tidak menganggapnya menyenangkan karena itu. Kalau aku boleh terlampau percaya diri, mungkin aku satu-satunya orang yang dekat dengannya. Dekat dengan pemuda tampan itu.

Seluruh essai telah selesai. Akhirnya, aku bisa bersantai dengan dia. Mataku baru saja menangkap tukang jajanan di pinggir jalan. Aku akan menawarinya makan bersama.

“Aku tak mau merepotkanmu,” katanya.

“Ayahku banya memberiku uang jajan,” kataku dengan sangat jujur. “Ini kesempatan yang langka. Jarang sekali kau menawariku keluar seperti ini—bersama di luar jam sekolah. Aku ingin lebih lama bersamamu.”

“Mengapa begitu?” tanyanya ingin tahu. Aku tersenyum sendiri mendengarnya, lalu tiba-tiba muncul wajah Atrit di kepalaku.

“Sudahlah, alasan itu hanya untukku,” kataku menggodanya yang semakin penasaran. “Ku tawari sekali lagi, mau tidak? Kau jarang atau bahkan tak pernah makan makanan apa pun di kantin.”

“Kau tahu karena aku tak pernah ke kantin,” jelasnya.

Aku tertawa mendengar kepolosan dalam unsur kata-katanya. “Ayolah, waktu semakin mendekati malam,” bujukku mengembalikan perhatiannya.

“Boleh,” jawabnya singkat lalu ia terbatuk-batuk. Udara memang dingin, apalagi kalau malam sudah tiba. Aku pun langsung berlari menghampiri tukang jajanan itu. Aku membeli dua crepes yang lezat. Aku dengan sok tahu, membelikannya crepes rasa cokelat keju sepertiku.

“Trims. Tapi lain kali aku yang mentraktirmu,” katanya meyakinkanku. Buru-buru aku menyantap crepesku dengan agak rakus. Haha. Ia menertawakanku. Aku tidak pernah seterbuka ini pada orang lain. Bahkan terhadap Atrit. Lalu ia terbatuk-batuk lagi. Aku mulai khawatir.

“Kita harus pulang,” saranku. “Kau bisa pulang sendiri? Atau kau mau aku—”

“Aku tak selemah itu, Emily!” sergahnya, agak jengkel terhadapku. Tapi tatapan jengkelnya tidak merubah pandanganku. Aku khawatir padanya. Sangat khawatir. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya. Ia menghubungi rumahnya. Well, ia orang kaya. Kenapa harus selalu pemuda kaya yang dekat denganku?! Aku tak mau disangka cewek matre.

“Aku akan menunggu bersamamu sampai sopirmu datang,” yakinku padanya.

“Kalau begitu sekalian ku antar kau pulang,” jelasnya. Aku langsung menggeleng. “Kenapa?”

“Aku bisa pulang sendiri, sungguh.” Aku berusaha terdengar sangat meyakinkan. Aku melihatnya tersenyum kembali. Senyum yang semakin membuatku yakin bahwa ia merintih kesakitan. Ia tak bisa menyembunyikan rintihannya. Seraya memegang kepalanya yang mungkin mau meledak, membuat aku pusing kepalang.

Aku menyandarkan kepalanya di tasku yang cukup empuk. Ku suruh badannya dalam posisi setengah tidur di bangku taman. Ia menolak tapi aku cukup ahli untuk memaksa.

“Aku seperti adikmu,” erangnya.

“Tidak,” kataku. “Kau—aku tak bisa mendeskripsikan dengan benar siapa kau bagiku.”

“Apa kau ragu aku bukan teman yang baik untukmu?” tanyanya dengan sangat lemah di posisi kepala tertidur menghadap wajahku.

“Tidak,” jawabku. “Percayalah, tidak!” Aku meyakinkannya. Ia mengangguk dan tersenyum padaku. Senyum yang—membuatku menitikkan air mata secara spontan. Ia langsung membangunkan dirinya hingga ke posisi duduk begitu melihatku.

“Mengapa kau menangis?” tanyanya pelan. “Kau rindu seseorang?”

Aku menggeleng. Wajah Atrit terus menjauh dariku. Menjauh dan terus menjauh hingga tak terlihat setitik pun. Mengapa itu terjadi?

“Ku rasa aku justru baru saja menemukan sesuatu,” akuku dengan terus menangis. Ini tangisan apa, sebenarnya?

Tangan halus Ash mengelus pipiku. Ia menghapus air mata yang tidak berharga dari pelupuk mataku. Dadaku berdebar kencang. Perasaan demi perasaan datang hilir mudik menghinggapiku. Antara rasa bersalah, bingung, sedih, bahagia, dan lain-lain.

“Kau menemukan sesuatu yang salah,” bisiknya hati-hati di dekat telingaku. Aku terdiam memberinya kesempatan untuk menjelaskan lebih rincinya. Namun aku tak mendengar apa-apa selain suara tubuh terjatuh. Dan ketika aku melirik ke sampingku, Ash Vebrice telah jatuh pingsan ke bawah bangku taman.

***

Kau membuatku khawatir. Ada apa, Emily? Kau sudah tak pernah menghubungiku lagi. Sebulan lagi kau kembali ke sisiku. Ku harap tak ada yang salah dengan keadaan di sana.
Atrit Wilson

Ada yang salah. Aku tahu ada yang salah saat aku menelan ludah setelah membaca pesan singkat dari Atrit untukku. Waktu berjalan begitu cepat. Sudah lama sekali aku tidak bertemu Ash. Setelah insiden jatuh pingsannya, ia tak masuk sekolah selama hampir dua minggu. Lalu ia masuk selama lima hari dan setelah itu menghilang lagi selama seminggu. Kemudian ia masuk sehari dan tak kunjung masuk lagi sampai saat ini. Aku khawatir. Sangat khawatir padanya.

Aku telah bertanya pada beberapa anak tentang Ash Vebrice. Tetapi jawaban mereka sangat mengecewakan. Bagaimana mungkin di saat aku sedang panik sekaligus khawatir justru mereka menyuruhku mengacuhkannya? Tak mungkin!

“Kau sangat penasaran dengan Ash, Emily?” tanya temanku di sekolah ini, Brandy Vraille. Aku mengangguk tak sabar. “Aku tahu alamat rumahnya. Aku bisa memberitahumu. Tapi, jangan harap kau akan di terima dengan sangat ramah oleh mereka.”

Aku tak peduli. Aku mencatat alamat Ash yang di beritahukan Brandy padaku. Aku sudah sangat rindu pada Ash. Tak peduli apapun jua. Aku akan merasa sangat bersalah karena ia pertama kali pingsan saat bersamaku. Oh, tidak!

Aku melihat baik-baik alamat yang tercantum di kertas yang ku bawa. Aku telah sampai di depan sebuah rumah yang sangat besar. Alamatnya tak salah. Benar. Inikah rumah Ash Vebrice? Entah pangeran darimanakah ia sebenarnya.

Aku ragu pada ucapan Brandy. Aku di terima dengan tangan terbuka oleh keluarga Ash. Meskipun, ada banyak kejanggalan di sana. Waktuku di ulur-ulur untuk bertemu dengan Ash. Obrolanku tentang Ash pun selalu di alihkan oleh keluarganya. Mungkin hal itu terus di lakukan sampai tibalah klimaksnya.

“Terima kasih, Emily! Kau telah menjaga Ash kami.”

Aku menatap Mrs. Vebrice dengan pandangan heran. Aku tak mengerti. Sangat tak mengerti.

“Ash kenapa? Di mana?”

Aku tidak dapat setenang dia! geramku. Mungkin ia memang tidak tenang, tapi berusaha untuk tetap tenang, setidaknya selama aku ada.

“Ash sakit,” jawabnya singkat. Aku tidak suka jawaban seperti itu! Dari awal aku memang sudah tahu kalau Ash sakit. Namun geramanku terhenti. “Dia kanker otak stadium lanjut.”

Aku ternganga. Ash-ku. Setidaknya –ku di sana adalah sahabatku?! Aku tak mau percaya. Aku memang sedang mengigau. Yeah, aku tak akan pernah percaya.

“Ia tidak—Mrs. Vebrice, Ash tidak—koma, kan?” tanyaku terbata-bata. Aku tidak melihatnya menggeleng ataupun mengangguk. Aku langsung lemas. Aku pun berubah menjadi gadis yang sangat brutal. “Aku ingin menjenguknya! Di manapun dia.”

“Itu hanya membuat kau semakin terluka,” jelas Mrs. Vebrice. “Tante masih mengharapkan doamu untuknya.”

“Jangan bicara seakan Ash akan mati, Mrs. Vebrice!” geramku, mengamuk. Aku mengacuhkan air mata yang entah ke berapa telah meluncur turun di wajahku. “Aku percaya dia tidak lemah!”

“Dia tidak lemah karena ada kamu,” kata Mrs. Vebrice yang mulai menangis sepertiku. “Sungguh, Emily! Kau alasannya bertahan. Aku bersyukur Ash berjumpa denganmu.”

Aku terjatuh. Tidak pingsan. Tapi, tak mungkin! Aku tidak gila! Itu semua tak mungkin! Ash-ku. Sahabat sekaligus pemuda yang sangat ku sayang?!

Mengapa waktu begitu cepat berlalu. Sudah saatnya aku kembali. Aku telah menghabiskan tiga bulan di sekolah Ash. Aku belum sempat melihat wajahnya saat aku akan kembali ke sekolahku. Sekolah yang akan dipenuhi oleh Atrit, bukan Ash lagi.

Aku tidak butuh Atrit. Bukannya aku egois atau serakah atau semacamnya. Tetapi inilah cinta yang ku rasakan. Aku mencintainya. Mencintai Ash Vebrice apa adanya. Tidak tertutup oleh kenyataan apapun bahkan kenyataan bahwa Atrit ada di sana menungguku. Tidak!

***

" Ikrarkan padaku, Pangeran Kecil-ku!
Kau tetap hidup sampai aku meraihmu kembali.
Kau terus menungguku. Terus dan terus.
Tersenyumlah, Pangeran Tampan-ku!
Aku selalu untukmu selamanya. "
Emily Gregorint

***

Sikapku menyiksa Atrit perlahan-lahan. Aku tidak kuat lagi. Sudah hampir tiga minggu aku menjadi orang asing baginya. Aku tidak kuat menyiksanya tetapi aku tak bisa kembali bersamanya dan menyiksa hatiku. Akhirnya ku putuskan untuk mengakhiri semuanya. Aku bisa merasakan aura kebencian Atrit yang sebentar lagi akan tumbuh untukku.

“Maafkan keputusanku, Atrit!” seruku.

“Kau sudah lama menganggapku tak ada,” katanya masam. Aku hanya menunduk. “Aku tak mau memaafkanmu. Tapi bukan karena itu. Tapi karena kau menghancurkan dirimu sendiri! Kau sudah gila, Emily!”

“Aku memang gila!” kataku. Aku setengah berteriak padanya. Atrit cukup terkejut mendengarnya. “Aku—sejak dulu gila untukmu! Tidakkah kau tahu itu?”

“Aku tidak tahu,” katanya menantang. “Siapa yang tahu itu?”

“Kau dan aku pastinya tahu,” jawabku mengelak. “Atau paling tidak wanita-wanita lain tahu aku gila!”

“Jangan membuat aku menganggap kau terdengar cemburu!” gertaknya padaku. Ya. Memang benar. Aku tak mau membuatnya menyangka begitu. Karena memang bukan itu. Aku memutuskan untuk pergi meninggalkannya.

“Emily Gregorint!”

Ada suara khas memanggilku. Bulu kudukku bergetar. Aku tidak takut. Dan aku berbalik. Aku melihat Ash bersama murid-murid sekolahnya baru saja datang. Ternyata sekolah Ash-lah yang datang berkunjung! Ku perhatikan, Atrit telah menghilang.

Ash memisahkan diri dari kerumunan anak sekolahnya. Aku tidak menyangka. Ia sangat berubah. Ia di kelilingi banyak teman. Lebih banyak daripada aku.

“Aku benci kau,” gerutuku, menahan tangis.

“Ini pertemuan kita terakhir,” katanya. “Kau tak boleh marah.”

“Tapi kau sangat sehat!” Aku meneriakkan kata itu. Aku tidak terima. Terakhir apa?! Dia sangat sehat. Itu tidak mungkin.

“Waktuku terbatas,” katanya mengalihkan pembicaraan. “Maaf aku mencampuri masalahmu selama ini.”

“Tidak pernah,” kataku melunak. Aku melihat ia menggenggam tanganku. Matanya memandang mataku dengan berani.

“Aku mencintaimu.”

“Aku juga,” balasku sungguh-sungguh. Ash langsung melepas tanganku.

“Aku tak mau itu jawabanmu,” katanya serius. Aku tak peduli. “Aku ingin kau menjawab tidak pada pertanyaanku yang satu ini. Apakah kau mau menjadi pacarku, Emily Gregorint?”

“Ya, Ash Vebrice!” jawabku seraya tersenyum. Aku melihatnya terbelalak.

“Aku tak suka jawabanmu,” katanya tapi aku tetap tersenyum seraya merangkul lengannya.

***

Pernahkah kau merasa jatuh cinta? Saat kau merasakannya, kau tak peduli seberapa banyak manusia yang di campakkan karenanya. Atau kau tak akan peduli terhadap kepedihan saat di tinggalkannya. Tidak. Tak akan pernah sampai kau merasakannya.

Aku sangat sangat mencintai Ash Vebrice. Tak peduli berapa lama lagi umurnya di dunia. Aku tak peduli. Aku akan tetap ada untuknya. Hanya untuknya.

Ash Vebrice seperti bisa racun untukku. Menghipnotisku hingga mencampakkan manusia baik seperti Atrit. Tapi Ash Vebrice seperti obat sehingga membuatku berubah menjadi apa adanya. Aku mencintainya. Aku mencintainya, Tuhan!

Dengarkah KAU bahwa aku mencintainya?!

Emily Gregorint
Ash’s Love

***

Aku berusaha tegar. Aku tak akan menangis. Tapi ternyata aku menangis jua. Aku tak sanggup di tinggalkannya. Meski begitu aku tak akan pernah menyesal. Tak akan pernah menyesal telah memberi waktu untuknya masuk ke dalam relung hatiku.

“Pergilah, Atrit!” kataku kasar, mengusir Atrit.

“Tidak akan pernah,” paksanya.

Aku menangis tersedu-sedu. Ash Vebrice telah meninggalkanku. Kenangan yang seperti mimpi. Mimpi yang sangat indah saat bersamanya dan sangat buruk saat di tinggalkannya.

“Aku menyayangimu, Emily!” kata Atrit, sungguh-sungguh.

“Kau lebih pantas untuk yang lain, Atrit! Betapa hinanya aku,” isakku tersedu-sedu. Atrit lebih dari baik. Mencampakkannya sangat menyiksa batinku. Tapi aku tak mencintai dia seperti mencintainya,

“Aku punya pilihan tetapi aku tak mau,” katanya meyakinkanku. “Ada pesan darinya untukmu.”

Aku meraih surat dari tangan Atrit. Tanpa komando, ia telah pergi membiarkanku sendiri. Oh, Atrit!

Ku buka surat itu dan ku lihat tulisan tangannya.

Emily Gregorint…
Aku tak senang dengan keputusanmu memilihku. Aku tak senang membiarkanmu menderita karenaku. Apa artinya aku untukmu? Baiklah, maafkan aku, Peri-ku!
Hapuslah tangisanmu segera. Aku tetap milikmu. Selamanya.
Aku tak mengharapkan hal yang sama untukku. Kau punya kehidupan yang jauh lebih bermakna. Aku percaya kau akan mampu, Sayangku! Aku telah mencurimu dari dia yang sempurna. Sempurna dengan kehidupannya yang normal. Aku ingin kau kembali padanya. Aku tidaklah seimbang untukmu. Dunia kita telah jauh terpisah.
Yakinilah, Peri-ku! Cintaku abadi untukmu. Meski tertutup dan tertimbun debu yang menimpaku. Percayalah, Sayangku! Aku mencintaimu sepenuh hati.
Ash Vebrice


“Kau justru tertimbun cintaku,” tanggapku seraya tertawa lemah. Aku menulis di balik kertasnya.

Terima kasih, Pangeran Kecil-ku nan Tampan!
Sebagian hatiku ku sisakan sepenuh hati untukmu…Tak termasuk kemurnian rasaku…
Emily Gregorint
Mrs. Wilson, February 2013
0 Responses

Lagu