karya : imutt
“Hari ini Bunga dari kelas 11 IPA 3!”
Seorang cowok telah berlarian di koridor untuk menyampaikan berita kepada anak-anak satu sekolah. Tanpa perasaan, cowok itu tidak mempedulikan Bunga yang menangis di dalam kelasnya.
“Bunga itu cewek ke 5 di awal semester dua ini,” kata Riri, cewek kelas 11 IPA 2 yang sering di nobatkan sebagai penasehat cinta. “Gue bingung sama cewek-cewek di sini. Mereka minta pendapat gue dan gue bilang jangan deketin Andre dan mereka gak mau denger sama sekali omongan gue.”
Sarah menenangkan Riri yang berbicara penuh emosi.
“Namanya juga cinta,” kata Sarah menanggapi.
“Itu bukan cinta,” kata Riri. “Mereka terlalu cepat mengambil keputusan. Andre itu player. Bunga masih bagus jadian satu hari. Ingat seminggu yang lalu? Nani jadian baru empat jam dan Andre udah mutusin dia begitu aja.”
Sarah tertawa dengan suara pelan. “Iya, iya,” kata Sarah satu pendapat dengan Riri. “Tapi lo juga gak boleh se-emosi ini. Cewek-cewek bakal datang lagi minta saran dan pendapat sama lo di jam istirahat kedua.”
“Nah, justru itu,” kata Riri cepat. “Bunga bakal curhat ke gue. Lo pikir enak ngedengerin orang curhat sambil nagis-nangis? Trus nanti ada lagi yang berbinar-binar matanya. Ada juga yang menggebu-gebu mengejar cinta. Siapa sih yang nyebarin gossip kalo gue itu penasehat cinta?!”
“Sabar, Ri!” kata Sarah. “Yang penting job lo di bayar, kan?” Sarah tertawa. “Gue ke lapangan dulu ya, bareng Rio,” kata Sarah setelah melihat Rio menunggunya di ambang pintu. “Siapin nasehat-nasehat bermutu, ya, Ri! Good luck!”
“SARAH! Tega lo!!”
***
“Lo gak mau, kan, kaya Bunga atau Nani atau Lili atau Stephany atau—”
“Riri, tapi gue yakin dia bener-bener ngasih lampu ijo ke gue,” kata Hani, cewek terakhir yang konsultasi sama Riri. “Dia udah ngasih senyum manis ke gue yang gak pernah dia kasih ke cewek manapun, termasuk ke mantan-mantannya. Tolong cek perasaan Andre, ya, Ri! Please. Kalo sukses, gue traktir lo sampai puas.”
Riri tak bisa menggeleng ataupun mengangguk. Tanpa jawaban berarti, Hani pergi dengan mata berbinar-binar. Di sudut kelas, Sarah tertawa bersama Beni.
“Bagus,” kata Riri ketika Sarah dan Beni berjalan menghampirinya. “Selalu cowok yang sama,” kata Riri bosan. “Andre Wijaya.”
“Setidaknya lo jadi makin berpengalaman kalo mau ngegebet dia,” cetus Beni. “Ya, lo gak mungkin diputusin di tengah lapangan ato pas mau ulangan lisan.”
Beni dan Sarah tertawa terbahak-bahak. Tetapi tidak dengan Riri.
“Gimana caranya supaya penderitaan gue berakhir?” tanya Riri dengan wajah memelas. “Supaya cewek-cewek gak pada curhat lagi ke gue. Dan gue bebas dari semua beban tentang Andre Wijaya.”
“Gue tau!” kata Sarah spontan dengan suara kencang. “Saran gue pasti jitu dan oke banget. Saran yang asyik untuk lo lakuin plus dapat mewujudkan hal yang lo pengenin tadi.”
“Apa?” tanya Riri dan Beni berbarengan.
“Lo jadian dengan Andre!” jawab Sarah bersemangat. Beni spontan tertawa kencang.
“Gila!” kata Riri. “Lo mau gue kaya cewek-cewek itu?”
“Lo kan gak beneran jatuh cinta sama dia,” kata Sarah. “Dia mainin lo, lo juga mainin dia. Gimana? Nanti gue dan Beni bantuin, deh.”
Riri terdiam sesaat. Kemudian dia berkata dengan penuh semangat, “Ayo lakukan!”
***
Strategi mulai berjalan. Sepulang sekolah, Sarah dan Beni telah menyusun rencana untuk membantu Riri. Beni telah meminta Andre untuk menemuinya di kantin sekolah karena masalah ekstrakurikuler yang di ketuai Andre, basket.
“Lo temennya Beni, kan?” tanya Andre melihat kehadiran Riri seorang diri di dalam kantin.
Riri melihat Andre di sana seorang diri. Cowok yang luar biasa ganteng dengan gaya yang cool—ada di sana seperti Riri. Riri bisa memandangi ketampanannya sepuasnya. Tanpa ada cewek lain yang menggubris kegiatannya. Hah?! Riri tersadar dari pesona maut Andre yang mantap.
“Gue gak liat Beni,” kata Riri pelan.
“Loh?” ujar Andre heran. Cowok itu berdiri dari duduknya. “Lo kan temen sekelasnya. Gak mungkin gak tau.”
Ingin sekali Riri membalas ucapan Andre dengan kenyolotan yang sama seperti Andre padanya. Tetapi jika ia begitu, mungkin strateginya langsung gagal seketika.
“Tenang aja,” kata Riri. “Gue tau masalah lo ada di sini, kok! Gue minta tolong dia supaya gue bisa masuk tim basket cewek. Dan kata Beni, lo yang bisa bantu gue.”
Andre tertawa meremehkan. “Cewek feminim kaya lo mau panas-panasan?” tanya Andre tak percaya. “Orang kaya lo itu cocoknya jadi putri-putri di exkul theatre.”
“Gue serius,” kata Riri. “Please!”
Andre menggeleng, tanda menolak permintaan Riri. “Gue gak ada urusan lagi sama lo,” kata Andre acuh. “Udah, pulang sana!” Andre pun berjalan pergi meninggalkan Riri.
“Payah lo!” teriak Riri kesal. “Dasar banci pelit!”
Andre berhenti. Ia menoleh ke arah Riri dengan perasaan yang sama kesalnya. “Bilang apa lo?” tanyanya.
“Banci!” teriak Riri. “Andre Wijaya banci! Banci pelit! Nyebelin!”
“Lo tuh anak kecil banget, ya!” kata Andre. “Pergi sana sebelum gue lempar sepatu ke lo.”
Riri mendengus sebal.
***
“Hari ini gak ada konsultasi cinta?” tanya Sarah keesokkan harinya.
“Gak ada!” jawab Riri jutek. “Ih, sebel banget! Andre tuh kasar banget. Emang sih cakep. Tapi cakepnya ketutupan sama sikapnya yang nyebelin abis. Batal ah!”
“Jangan! Jangan!” kata Sarah. “Terlalu cepat untuk menyerah. Masa’ dia gak ngegombal sama sekali, sih, ke lo? Gak mungkin, Ri!”
“Ngegombal?” ujar Riri. “Dia malah terlalu nyolot sama gue. Apa dia tau rencana kita? Tapi—gak mungkin ah.”
“Lebih baik lo lanjutin strategi kita,” kata Sarah. “Nih, buku-bukunya!”
Riri membawa lebih dari lima buah buku perpustakaan yang di pinjam Sarah. Dengan langkah gontai, ia berjalan ke arah perpustakaan. Beni telah memberitau Riri bahwa Andre biasa ke perpustakaan pada jam istirahat pertama. Untuk itulah, strategi berikutnya berhubungan dengan buku-buku.
Belum sampai di perpustakaan, buku-buku yang di bawa Riri telah jatuh semuanya. Tepat di hadapan Andre yang baru saja akan menyentuh gagang pintu!
“Yang kaya gini mau masuk tim basket cewek?” ujar Andre seraya tertawa meremehkan.
“Gak usah lo suruh juga gue beresin!” kata Riri jutek.
Andre masih berdiri di sana tanpa pertolongan yang di harapkan Sarah dan Beni dalam daftar strategi mereka. Riri pun terlalu jengkel untuk meminta pertolongan padanya.
“Nih, gue bukain pintu buat lo,” kata Andre kepada Riri. “Gue sangat baik,” tambahnya narsis.
Kejadian di dalam perpustakaan jauh lebih menjengkelkan bagi Riri. Semua buku yang dipilih Riri untuk di baca di perpustakaan dikomentari dengan sangat pedas oleh Andre.
“Novel petualangan gak cocok buat lo yang manja,” katanya. “Buku pelajaran juga gak pantes buat lo yang males belajar. Kamus itu juga gak sepadan sama otak lo yang seadanya. Emang di sini gak ada buku komik, ya?”
Kemarahan Riri sudah sampai puncaknya. Tidak peduli dengan situasi dan tempatnya berada, Riri melemparkan semua buku perpustakaan yang di ambilnya ke arah Andre dengan ganas. Balasan untuk semua perbuatan Riri pada Andre adalah Riri tidak diizinkan lagi masuk ke dalam perpustakaan sekolah.
Ada satu hikmah di balik semuanya. Kabar kebrutalan Riri terdengar anak seisi sekolah. Cewek-cewek yang semula sering berkonsultasi padanya pun kini berhenti mempercayakan masalah mereka kepada Riri. Riri tidak merasa sial karenanya. Justru beruntung.
“Dengan begini gue gak perlu berurusan lagi sama Andre Wijaya,” kata Riri senang.
“Gak bisa,” kata Beni. “Masih ada empat orang lagi yang setia jadi klien lo.”
“Ayo, Riri! Lo pasti bisa!” ujar Sarah menyemangati. Riri hanya tertunduk lemas.
***
“Kantin udah dipesen sepulang sekolah buat ngerayain ultah Sarah,” kata Riri. “Lo ngapain ada di sini? Emang penjaga kantin gak bilang sama lo kalo ini semua udah di pesen?”
“Udah,” jawab Andre singkat. “Tapi anak-anak exkul gue pada laper. Lo mau mereka semua mati kelaperan?” Semua cowok-cowok exkul basket tertawa.
“Gue gak mau tau,” kata Riri. “Anak-anak yang mau ditraktir itu banyak. Cepet pergi!”
“Kaya’nya pas kalo kita juga ditraktir,” kata Andre.
“Gak!” bentak Riri tak mau tau.
“Sarah juga gak keberatan, kan?” potong Ade, cowok anggota tim basket. “Lagian kantin ini dipesen juga gak nambah bayaran kalian.”
Sarah membisikkan sesuatu kepada Riri. “Udah, Ri! Kita nyerah aja,” kata Sarah. “Ke tempat yang lain aja. Ada kafe di sekitar sini, kan?”
Riri beralih kepada anak-anak basket putra. “Lanjutin makannya! Jangan lupa bayar!”
“Huuuu!” sorak seluruh cowok anggota tim basket putra kecuali Andre.
***
Jam telah menunjukkan pukul lima sore. Riri dan kawan-kawan baru saja selesai ditraktir Sarah di kafe dekat sekolah. Usainya, mereka pulang sendiri-sendiri. Riri yang belum dijemput oleh sopirnya, berkeliling di sekitar sana seorang diri.
Pandangan mata Riri terpaku ketika ia melihat sosok Hani dan Andre di sekitarnya. Spontan Riri terdiam memandangi keduanya. Beberapa hari yang lalu Hani baru saja curhat padanya tentang Andre. Dan sekarang—entah apa yang terjadi.
“Jadi lo gak suka gue?” kata Hani, menahan air mata. Baik Hani maupun Riri melihat Andre menggelengkan kepalanya tanpa rasa kasihan. “Tapi gue cinta banget sama lo,” kata Hani lagi. “Apa gak bisa sayang sama gue sebentar aja?”
“Gak, Hani!” jelas Andre tegas. “Gue jadian sama mereka tapi gue gak pernah bilang sayang sama mereka. Artinya, gue gak pernah sayang apalagi cinta sama mantan-mantan gue. Lebih baik lo pulang sekarang. Lo gak akan malu karena gak ada seorang pun yang tau tentang masalah ini.”
Hani telah pergi dengan perasaan enggan. Setelah memastikan bahwa situasi lebih tenang, Riri memunculkan dirinya kehadapan Andre.
“Ngumpet pun gue tau lo daritadi nguping,” kata Andre yang sama sekali tidak tampak terkejut. “Jangan bilang apa-apa soal yang tadi.” Andre berbalik.
“Kenapa memangnya?” tanya Riri penasaran. “Bukannya lo cowok keren yang kejam? Bukannya lo hobi dan seneng banget ngecewain cewek-cewek yang cinmat sama lo?”
“Itu semua kata lo?” ujar Andre yang tidak merubah posisinya sama sekali. “Ada yang salah dengan sikap gue? Gue hanya berusaha untuk tetap setia.”
Refleks, Riri tertawa. “Ulangi, Ndre!” kata Riri geli. “Setia? Setia?! Apa yang lo maksud dengan setia? Gak ada sedetik pun lo setia sama mereka. Lo memang gak pernah selingkuh. Tapi kata setia gak pantes buat semua tindakan lo. Gue pun ragu lo mengerti dengan kata setia—apalagi melakukannya.”
“Gue bisa!” kata Andre penuh keyakinan.
“Oke,” kata Riri menanggapi. “Bisa. Tapi lo gak mau, kan?”
Andre terdiam. Riri mendekati Andre dan sekarang memandang Andre dengan sungguh-sungguh.
“Gue perempuan,” kata Riri pelan. “Gue mengerti perasaan mereka.”
“Tapi gak ada yang mau ngerti perasaan gue,” sela Andre. “Gue hanya mau tetap setia di sini. Dan semua serba salah buat gue. Mantan-mantan gue udah pernah gue tolak sebelumnya. Tapi mereka ngancem bunuh diri. Apa lo pikir tentang perasaan gue? Nggak! Gue terpaksa gak setia untuk beberapa saat hanya untuk mereka.”
“Gue gak ngerti,” kata Riri jujur. “Setia apa? Sama siapa?”
“Elena Santi,” katanya pelan. “Pernah dengar?” tambahnya seraya tertawa.
Riri tau. Riri memang tidak mengenalnya. Tapi ia pernah mendengar nama itu. Telah lewat beberapa bulan yang lalu, nama Elena Santi telah beredar di sekolahnya. Seorang cewek yang entah bagaimana rupanya, meninggal dunia. Cewek yang digosipkan adalah mantan Andre Wijaya. Cewek yang katanya membuat hidup Andre benar-benar berubah.
“Itu bukan setia menurut gue,” kata Riri. “Lo—lo harus mulai—”
“Mencari cewek lain?” potong Andre. “Siapa? Elo? Gak.”
“Gue gak pernah bilang tentang diri gue,” kata Riri setengah kesal. “Tapi lo harus mulai menghadapi kenyataan.”
“Pantes lo jadi penasehat cinta,” kata Andre yang mengetahui posisi Riri sebenarnya. “Ya, mungkin saja,” kata Andre santai tanpa beban. “Mungkin gue harus liat kenyataannya. Tapi gak harus sekarang gue memulainya.”
“Terserah lo,” kata Riri berpura-pura acuh. Tiba-tiba saja Andre tersenyum padanya. Senyum yang sangat manis dan memikat. Apakah itu senyum yang pernah di berikannya pada Hani? Riri tak mau tau.
“Thanks, Ri!” kata Andre pelan. “Gue tau lo suka gue. Tapi gue belum siap untuk benar-benar serius. Kalo lo mau nunggu, mungkin beberapa minggu lagi mental gue lebih siap untuk menerima cewek selain Elena.”
“Ya,” kata Riri membalas. Andre tertawa seraya berjalan pergi. Loh?! Riri tercengang. Dia baru saja mengatakan ‘ya.’ Dan kalimat yang di lontarkan Andre tadi adalah—‘Gue tau lo suka gue. Tapi gue belum siap untuk benar-benar serius. Kalo lo mau nunggu—Riri makin tercengang.
“ANDRE!!!!”
“Hari ini Bunga dari kelas 11 IPA 3!”
Seorang cowok telah berlarian di koridor untuk menyampaikan berita kepada anak-anak satu sekolah. Tanpa perasaan, cowok itu tidak mempedulikan Bunga yang menangis di dalam kelasnya.
“Bunga itu cewek ke 5 di awal semester dua ini,” kata Riri, cewek kelas 11 IPA 2 yang sering di nobatkan sebagai penasehat cinta. “Gue bingung sama cewek-cewek di sini. Mereka minta pendapat gue dan gue bilang jangan deketin Andre dan mereka gak mau denger sama sekali omongan gue.”
Sarah menenangkan Riri yang berbicara penuh emosi.
“Namanya juga cinta,” kata Sarah menanggapi.
“Itu bukan cinta,” kata Riri. “Mereka terlalu cepat mengambil keputusan. Andre itu player. Bunga masih bagus jadian satu hari. Ingat seminggu yang lalu? Nani jadian baru empat jam dan Andre udah mutusin dia begitu aja.”
Sarah tertawa dengan suara pelan. “Iya, iya,” kata Sarah satu pendapat dengan Riri. “Tapi lo juga gak boleh se-emosi ini. Cewek-cewek bakal datang lagi minta saran dan pendapat sama lo di jam istirahat kedua.”
“Nah, justru itu,” kata Riri cepat. “Bunga bakal curhat ke gue. Lo pikir enak ngedengerin orang curhat sambil nagis-nangis? Trus nanti ada lagi yang berbinar-binar matanya. Ada juga yang menggebu-gebu mengejar cinta. Siapa sih yang nyebarin gossip kalo gue itu penasehat cinta?!”
“Sabar, Ri!” kata Sarah. “Yang penting job lo di bayar, kan?” Sarah tertawa. “Gue ke lapangan dulu ya, bareng Rio,” kata Sarah setelah melihat Rio menunggunya di ambang pintu. “Siapin nasehat-nasehat bermutu, ya, Ri! Good luck!”
“SARAH! Tega lo!!”
***
“Lo gak mau, kan, kaya Bunga atau Nani atau Lili atau Stephany atau—”
“Riri, tapi gue yakin dia bener-bener ngasih lampu ijo ke gue,” kata Hani, cewek terakhir yang konsultasi sama Riri. “Dia udah ngasih senyum manis ke gue yang gak pernah dia kasih ke cewek manapun, termasuk ke mantan-mantannya. Tolong cek perasaan Andre, ya, Ri! Please. Kalo sukses, gue traktir lo sampai puas.”
Riri tak bisa menggeleng ataupun mengangguk. Tanpa jawaban berarti, Hani pergi dengan mata berbinar-binar. Di sudut kelas, Sarah tertawa bersama Beni.
“Bagus,” kata Riri ketika Sarah dan Beni berjalan menghampirinya. “Selalu cowok yang sama,” kata Riri bosan. “Andre Wijaya.”
“Setidaknya lo jadi makin berpengalaman kalo mau ngegebet dia,” cetus Beni. “Ya, lo gak mungkin diputusin di tengah lapangan ato pas mau ulangan lisan.”
Beni dan Sarah tertawa terbahak-bahak. Tetapi tidak dengan Riri.
“Gimana caranya supaya penderitaan gue berakhir?” tanya Riri dengan wajah memelas. “Supaya cewek-cewek gak pada curhat lagi ke gue. Dan gue bebas dari semua beban tentang Andre Wijaya.”
“Gue tau!” kata Sarah spontan dengan suara kencang. “Saran gue pasti jitu dan oke banget. Saran yang asyik untuk lo lakuin plus dapat mewujudkan hal yang lo pengenin tadi.”
“Apa?” tanya Riri dan Beni berbarengan.
“Lo jadian dengan Andre!” jawab Sarah bersemangat. Beni spontan tertawa kencang.
“Gila!” kata Riri. “Lo mau gue kaya cewek-cewek itu?”
“Lo kan gak beneran jatuh cinta sama dia,” kata Sarah. “Dia mainin lo, lo juga mainin dia. Gimana? Nanti gue dan Beni bantuin, deh.”
Riri terdiam sesaat. Kemudian dia berkata dengan penuh semangat, “Ayo lakukan!”
***
Strategi mulai berjalan. Sepulang sekolah, Sarah dan Beni telah menyusun rencana untuk membantu Riri. Beni telah meminta Andre untuk menemuinya di kantin sekolah karena masalah ekstrakurikuler yang di ketuai Andre, basket.
“Lo temennya Beni, kan?” tanya Andre melihat kehadiran Riri seorang diri di dalam kantin.
“Mana dia?”
Riri melihat Andre di sana seorang diri. Cowok yang luar biasa ganteng dengan gaya yang cool—ada di sana seperti Riri. Riri bisa memandangi ketampanannya sepuasnya. Tanpa ada cewek lain yang menggubris kegiatannya. Hah?! Riri tersadar dari pesona maut Andre yang mantap.
“Gue gak liat Beni,” kata Riri pelan.
“Loh?” ujar Andre heran. Cowok itu berdiri dari duduknya. “Lo kan temen sekelasnya. Gak mungkin gak tau.”
Ingin sekali Riri membalas ucapan Andre dengan kenyolotan yang sama seperti Andre padanya. Tetapi jika ia begitu, mungkin strateginya langsung gagal seketika.
“Tenang aja,” kata Riri. “Gue tau masalah lo ada di sini, kok! Gue minta tolong dia supaya gue bisa masuk tim basket cewek. Dan kata Beni, lo yang bisa bantu gue.”
Andre tertawa meremehkan. “Cewek feminim kaya lo mau panas-panasan?” tanya Andre tak percaya. “Orang kaya lo itu cocoknya jadi putri-putri di exkul theatre.”
“Gue serius,” kata Riri. “Please!”
Andre menggeleng, tanda menolak permintaan Riri. “Gue gak ada urusan lagi sama lo,” kata Andre acuh. “Udah, pulang sana!” Andre pun berjalan pergi meninggalkan Riri.
“Payah lo!” teriak Riri kesal. “Dasar banci pelit!”
Andre berhenti. Ia menoleh ke arah Riri dengan perasaan yang sama kesalnya. “Bilang apa lo?” tanyanya.
“Banci!” teriak Riri. “Andre Wijaya banci! Banci pelit! Nyebelin!”
“Lo tuh anak kecil banget, ya!” kata Andre. “Pergi sana sebelum gue lempar sepatu ke lo.”
Riri mendengus sebal.
***
“Hari ini gak ada konsultasi cinta?” tanya Sarah keesokkan harinya.
“Gak ada!” jawab Riri jutek. “Ih, sebel banget! Andre tuh kasar banget. Emang sih cakep. Tapi cakepnya ketutupan sama sikapnya yang nyebelin abis. Batal ah!”
“Jangan! Jangan!” kata Sarah. “Terlalu cepat untuk menyerah. Masa’ dia gak ngegombal sama sekali, sih, ke lo? Gak mungkin, Ri!”
“Ngegombal?” ujar Riri. “Dia malah terlalu nyolot sama gue. Apa dia tau rencana kita? Tapi—gak mungkin ah.”
“Lebih baik lo lanjutin strategi kita,” kata Sarah. “Nih, buku-bukunya!”
Riri membawa lebih dari lima buah buku perpustakaan yang di pinjam Sarah. Dengan langkah gontai, ia berjalan ke arah perpustakaan. Beni telah memberitau Riri bahwa Andre biasa ke perpustakaan pada jam istirahat pertama. Untuk itulah, strategi berikutnya berhubungan dengan buku-buku.
Belum sampai di perpustakaan, buku-buku yang di bawa Riri telah jatuh semuanya. Tepat di hadapan Andre yang baru saja akan menyentuh gagang pintu!
“Yang kaya gini mau masuk tim basket cewek?” ujar Andre seraya tertawa meremehkan.
“Beresin tuh buku-bukunya!”
“Gak usah lo suruh juga gue beresin!” kata Riri jutek.
Andre masih berdiri di sana tanpa pertolongan yang di harapkan Sarah dan Beni dalam daftar strategi mereka. Riri pun terlalu jengkel untuk meminta pertolongan padanya.
“Nih, gue bukain pintu buat lo,” kata Andre kepada Riri. “Gue sangat baik,” tambahnya narsis.
Kejadian di dalam perpustakaan jauh lebih menjengkelkan bagi Riri. Semua buku yang dipilih Riri untuk di baca di perpustakaan dikomentari dengan sangat pedas oleh Andre.
“Novel petualangan gak cocok buat lo yang manja,” katanya. “Buku pelajaran juga gak pantes buat lo yang males belajar. Kamus itu juga gak sepadan sama otak lo yang seadanya. Emang di sini gak ada buku komik, ya?”
Kemarahan Riri sudah sampai puncaknya. Tidak peduli dengan situasi dan tempatnya berada, Riri melemparkan semua buku perpustakaan yang di ambilnya ke arah Andre dengan ganas. Balasan untuk semua perbuatan Riri pada Andre adalah Riri tidak diizinkan lagi masuk ke dalam perpustakaan sekolah.
Ada satu hikmah di balik semuanya. Kabar kebrutalan Riri terdengar anak seisi sekolah. Cewek-cewek yang semula sering berkonsultasi padanya pun kini berhenti mempercayakan masalah mereka kepada Riri. Riri tidak merasa sial karenanya. Justru beruntung.
“Dengan begini gue gak perlu berurusan lagi sama Andre Wijaya,” kata Riri senang.
“Gak bisa,” kata Beni. “Masih ada empat orang lagi yang setia jadi klien lo.”
“Ayo, Riri! Lo pasti bisa!” ujar Sarah menyemangati. Riri hanya tertunduk lemas.
***
“Kantin udah dipesen sepulang sekolah buat ngerayain ultah Sarah,” kata Riri. “Lo ngapain ada di sini? Emang penjaga kantin gak bilang sama lo kalo ini semua udah di pesen?”
“Udah,” jawab Andre singkat. “Tapi anak-anak exkul gue pada laper. Lo mau mereka semua mati kelaperan?” Semua cowok-cowok exkul basket tertawa.
“Gue gak mau tau,” kata Riri. “Anak-anak yang mau ditraktir itu banyak. Cepet pergi!”
“Kaya’nya pas kalo kita juga ditraktir,” kata Andre.
“Gak!” bentak Riri tak mau tau.
“Sarah juga gak keberatan, kan?” potong Ade, cowok anggota tim basket. “Lagian kantin ini dipesen juga gak nambah bayaran kalian.”
Sarah membisikkan sesuatu kepada Riri. “Udah, Ri! Kita nyerah aja,” kata Sarah. “Ke tempat yang lain aja. Ada kafe di sekitar sini, kan?”
Riri beralih kepada anak-anak basket putra. “Lanjutin makannya! Jangan lupa bayar!”
“Huuuu!” sorak seluruh cowok anggota tim basket putra kecuali Andre.
***
Jam telah menunjukkan pukul lima sore. Riri dan kawan-kawan baru saja selesai ditraktir Sarah di kafe dekat sekolah. Usainya, mereka pulang sendiri-sendiri. Riri yang belum dijemput oleh sopirnya, berkeliling di sekitar sana seorang diri.
Pandangan mata Riri terpaku ketika ia melihat sosok Hani dan Andre di sekitarnya. Spontan Riri terdiam memandangi keduanya. Beberapa hari yang lalu Hani baru saja curhat padanya tentang Andre. Dan sekarang—entah apa yang terjadi.
“Jadi lo gak suka gue?” kata Hani, menahan air mata. Baik Hani maupun Riri melihat Andre menggelengkan kepalanya tanpa rasa kasihan. “Tapi gue cinta banget sama lo,” kata Hani lagi. “Apa gak bisa sayang sama gue sebentar aja?”
“Gak, Hani!” jelas Andre tegas. “Gue jadian sama mereka tapi gue gak pernah bilang sayang sama mereka. Artinya, gue gak pernah sayang apalagi cinta sama mantan-mantan gue. Lebih baik lo pulang sekarang. Lo gak akan malu karena gak ada seorang pun yang tau tentang masalah ini.”
Hani telah pergi dengan perasaan enggan. Setelah memastikan bahwa situasi lebih tenang, Riri memunculkan dirinya kehadapan Andre.
“Ngumpet pun gue tau lo daritadi nguping,” kata Andre yang sama sekali tidak tampak terkejut. “Jangan bilang apa-apa soal yang tadi.” Andre berbalik.
“Kenapa memangnya?” tanya Riri penasaran. “Bukannya lo cowok keren yang kejam? Bukannya lo hobi dan seneng banget ngecewain cewek-cewek yang cinmat sama lo?”
“Itu semua kata lo?” ujar Andre yang tidak merubah posisinya sama sekali. “Ada yang salah dengan sikap gue? Gue hanya berusaha untuk tetap setia.”
Refleks, Riri tertawa. “Ulangi, Ndre!” kata Riri geli. “Setia? Setia?! Apa yang lo maksud dengan setia? Gak ada sedetik pun lo setia sama mereka. Lo memang gak pernah selingkuh. Tapi kata setia gak pantes buat semua tindakan lo. Gue pun ragu lo mengerti dengan kata setia—apalagi melakukannya.”
“Gue bisa!” kata Andre penuh keyakinan.
“Oke,” kata Riri menanggapi. “Bisa. Tapi lo gak mau, kan?”
Andre terdiam. Riri mendekati Andre dan sekarang memandang Andre dengan sungguh-sungguh.
“Gue perempuan,” kata Riri pelan. “Gue mengerti perasaan mereka.”
“Tapi gak ada yang mau ngerti perasaan gue,” sela Andre. “Gue hanya mau tetap setia di sini. Dan semua serba salah buat gue. Mantan-mantan gue udah pernah gue tolak sebelumnya. Tapi mereka ngancem bunuh diri. Apa lo pikir tentang perasaan gue? Nggak! Gue terpaksa gak setia untuk beberapa saat hanya untuk mereka.”
“Gue gak ngerti,” kata Riri jujur. “Setia apa? Sama siapa?”
“Elena Santi,” katanya pelan. “Pernah dengar?” tambahnya seraya tertawa.
Riri tau. Riri memang tidak mengenalnya. Tapi ia pernah mendengar nama itu. Telah lewat beberapa bulan yang lalu, nama Elena Santi telah beredar di sekolahnya. Seorang cewek yang entah bagaimana rupanya, meninggal dunia. Cewek yang digosipkan adalah mantan Andre Wijaya. Cewek yang katanya membuat hidup Andre benar-benar berubah.
“Itu bukan setia menurut gue,” kata Riri. “Lo—lo harus mulai—”
“Mencari cewek lain?” potong Andre. “Siapa? Elo? Gak.”
“Gue gak pernah bilang tentang diri gue,” kata Riri setengah kesal. “Tapi lo harus mulai menghadapi kenyataan.”
“Pantes lo jadi penasehat cinta,” kata Andre yang mengetahui posisi Riri sebenarnya. “Ya, mungkin saja,” kata Andre santai tanpa beban. “Mungkin gue harus liat kenyataannya. Tapi gak harus sekarang gue memulainya.”
“Terserah lo,” kata Riri berpura-pura acuh. Tiba-tiba saja Andre tersenyum padanya. Senyum yang sangat manis dan memikat. Apakah itu senyum yang pernah di berikannya pada Hani? Riri tak mau tau.
“Thanks, Ri!” kata Andre pelan. “Gue tau lo suka gue. Tapi gue belum siap untuk benar-benar serius. Kalo lo mau nunggu, mungkin beberapa minggu lagi mental gue lebih siap untuk menerima cewek selain Elena.”
“Ya,” kata Riri membalas. Andre tertawa seraya berjalan pergi. Loh?! Riri tercengang. Dia baru saja mengatakan ‘ya.’ Dan kalimat yang di lontarkan Andre tadi adalah—‘Gue tau lo suka gue. Tapi gue belum siap untuk benar-benar serius. Kalo lo mau nunggu—Riri makin tercengang.
“ANDRE!!!!”